Opini Audit Going Concern

Perekonomian global dan sistem bisnis yang semakin kompleks tentu menuntut perusahaan untuk menyajikan laporan keuangan yang dapat menarik investor. Jika dilihat dari sudut pandang investor, tentu akan mencari perusahaan yang memiliki kompetensi dan kapabilias bisnis yang baik dan mengalami tren positif. Dengan demikian, salah satu sisi yang dilihat dari kondisi tersebut yaitu melalui statement keuangan yang dikeluarkan oleh perusahaan. Statement tersebut berupa produk yang dikeluarkan oleh auditor berupa opini audit atas kondisi keuangan perusahaan yang diaudit (Opini Going Concern).

Standar Auditing (SA) seksi 341 menyebutkan bahwa auditor juga bertanggung jawab untuk menilai apakah terdapat kesangsian besar terhadap kemampuan perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya (going concern) dalam perioda waktu tidak lebih dari satu tahun sejak tanggal laporan audit (Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), 2001). Selain itu, Statement on Auditing Standards (SAS) No. 59 juga menyatakan bahwa auditor harus mengungkapkan secara eksplisit apakah perusahaan klien akan dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya sampai setahun kemudian setelah pelaporan (Auditing Standard Boards (ASB), 1988). Oleh karena itu, selain memperoleh informasi mengenai kewajaran laporan keuangan yang disajikan oleh manajemen, laporan auditor independen juga memberikan informasi kepada para pengguna laporan keuangan tentang kemampuan perusahaan untuk melanjutkan usahanya (going concern) (Widyantari, 2011).

Opini going concern yang diterima oleh sebuah perusahaan menunjukkan adanya kondisi dan peristiwa yang menimbulkan keraguan auditor akan kelangsungan hidup perusahaan. Opini audit going concern dapat digunakan sebagai peringatan awal bagi para pengguna laporan keuangan guna menghindari kesalahan dalam pembuatan keputusan (Widyantari, 2011).

Asumsi usaha berlanjut mengindikasikan bahwa tidak ada perusahaan yang merencanakan akan bangkrut suatu saat nanti. Asumsi ini menunjukkan bahwa perusahaan akan terus meningkatkan kinerjanya untuk bisa mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kesangsian besar auditor terhadap kemampuan suatu perusahaan dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya sering dipandang sebagai sinyal negatif oleh investor (Provitasari, 2013).

Banyak faktor yang menjadi indikator dalam beberapa penelitan tentang Opini Going Concern. Faktor keuangan (likuidas, profitabilitas, dan leverage), Mekanisme Tata Kelola Perusahaan, Financial Distress, Ukuran Perusahaan, dan Opini Audit Sebelumnya biasanya digunakan sebagai tolak ukur pemberian Opini Going Concern. 

Dalam penelitian Analisis Pengaruh Faktor Keuangan dan Mekanisme Tata Kelola Perusahaan terhadap Opini Auditor dengan Penjelasan tentang Going Concern (Provitasari, 2011) menyimpulkan bahwa:
  1. Terdapat pengaruh negatif dari variabel likuiditas terhadap kemungkinan perusahaan mendapatkan opini auditor dengan penjelasan tentang going concern. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendah likuiditas suatu perusahaan, semakin tinggi kemungkinan perusahaan untuk mendapatkan opini auditor dengan penjelasan tentang going concern.
  2. Profitabilitas tidak berpengaruh terhadap kemungkinan perusahaan mendapatkan opini auditor dengan penjelasan tentang going concern. Meskipun mampu menghasilkan laba, perusahaan dengan kegagalan utang yang tinggi tetap memiliki masalah dengan keberlanjutan usahanya. Hal ini disebabkan oleh laba yang dihasilkan belum mampu mengimbangi masalah kegagalan utang yang dialami perusahaan.
  3. Leverage yang diproksikan dengan rasio utang (debt ratio) tidak berpengaruh terhadap kemungkinan perusahaan mendapatkan opini auditor dengan penjelasan tentang going concern. Hal ini dapat disebabkan oleh keengganan auditor untuk mengeluarkan opini dengan penjelasan tentang going concern, yang justru menyebabkan keadaan perusahaan semakin buruk karena para investor akan menarik dananya.
  4. Proporsi afiliasi komite audit tidak berpengaruh terhadap kemungkinan perusahaan mendapatkan opini auditor dengan penjelasan tentang going concern. Apabila dalam satu komite audit minimal terdapat tiga orang, masih ada dua orang dari komite audit yang mampu menjaga dan menjamin kredibilitas proses pelaporan keuangan. Selain itu, tingkat kepatuhan yang baik pun tidak menjamin bahwa komite audit mampu bersikap independen.
  5. Variabel efektivitas komite audit memiliki pengaruh terhadap kemungkinan perusahaan mendapatkan opini auditor dengan penjelasan tentang going concern. Komite audit diharapkan mampu untuk mengurangi atau mengatasi pengaruh yang bersifat detrimental kepada auditor, sehingga mendukung dikeluarkannya opini auditor dengan penjelasan going concern, bagi perusahaan yang memang diragukan kelangsungan usahanya.
  6. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semakin besar proporsi kepemilikan blockholder terhadap perusahaan, semakin rendah kemungkinan perusahaan mendapatkan opini auditor dengan penjelasan tentang going concern. Kepemilikan eksternal yang besar diharapkan mampu meningkatkan efisiensi pemakaian aset bagi perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan, dikarenakan akan ada monitoring atas keputusan manajemen.
Serta dalam peelitian OpiniAudit Going Concern dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi; Studi pada Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek indonesia (Widyantari, 2011) menyimpulkan bahwa:
  1. Arus kas berpengaruh negatif pada opini audit going concern. Ross, Westerfield dan Jafee (2001) dalam Masyitoh dan Adhariani (2010) menyatakan bahwa jika perusahaan memiliki kas yang memadai maka perusahaan dapat menghindarkan diri dari kegagalan untuk memenuhi kewajiban dan financial distress sehingga perusahaan diharapkan tidak menerima opini audit going concern.
  2. Ukuran perusahaan berpengaruh negatif pada opini audit going concern. Hal ini berarti bahwa semakin besar ukuran perusahaan maka semakin besar kemampuan perusahaan tersebut untuk mengatasi kesulitan yang dihadapi sehingga auditor akan menunda untuk mengeluarkan opini audit going concern. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian McKeown et al. (1991) yang juga menemukan bahwa perusahaan besar memiliki kemungkinan yang lebih kecil untuk gagal dalam mempertahankan kelangsungan usahanya.
  3. Opini audit tahun sebelumnya berpengaruh positif pada opini audit going concern. Hasil temuan empiris ini menunjukkan bahwa auditor sangat memperhatikan opini going concern yang diterima perusahaan pada tahun sebelumnya. Perusahaan yang menerima opini audit going concern pada tahun sebelumnya harus menunjukkan peningkatan keuangan yang signifikan untuk memperoleh opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion) pada tahun berikutnya, jika tidak maka opini going concern dapat diberikan kembali (Nogler, 1995).

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

The Daily Post

"Ketika kita sibuk mencari yang sempurna, maka akan kehilangan kesempatan mendapatkan yang terbaik"

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kebijakan Bank Ekspansif, Moderat, Konservatif dan Proses Konglomerasi

Setiap bank memiliki kebijakan tersendiri untuk menentukan arah tujuan yang ingin dituju. Banyak tolak ukur yang dapat dijadikan oleh bank untuk mempertimbangkan kebijakannya. Pada pembahasan kali ini, saya akan membahas dua tolak ukur yang biasa dijadikan tolak ukur oleh bank untuk menentukan kebijakan ekonomi bank. Baik dalam bentuk konservatif, moderat, ataupun ekspansif.
Untuk mencapai kebijkan ekspansif, salah satu tolak ukur untuk menentukan kebijakannya adalah melalui Loan to Debt Ratio (LDR). Untuk berada pada posisi kebijakan ekspansif, bank harus memiliki LDR pada posisi 110%. Hal ini merupakan prosentase penyaluran kredit yang dilakukan oleh bank tersebut. Adanya kondisi LDR yang sebesar 110% seperti disebut sebelumnya, tentunya bank harus menaikkan rasio keukupan modal atau Capital Addecuacy Ratio (CAR). Karena berdasarkan kebijakan dari pemerintah yang kita ketauhi, minimal kepemilikan modal sendiri untuk setiap bank adalah 20% dari modal keseluruhan. Oleh karena itu, dengan adanya LDR yang dinaikkan maka akan menimbulkan efek yang harus menaikkan modal juga.
Efek dari penyaluran kredit yang tinggi, tentunya akan berdampak positif terhadap penerimaan dari bank tersebut. Dari penyaluran kredit itu, Interest Spread Income tentu akan naik juga. Karena seperti dijelaskan pada pembahasan sebelumya, i1 lebih kecil dari pada i2 (i2 – i1). Selain itu, bank juga memperoleh pendapatan dari Fee Based Income yang berasal dari penyaluran jasa dari bank berupa jasa kliring, valas, transfer, L/C & B/G, dsb. Dana tersebut merupakan perolehan dari pihak ketiga (DPK) yang berasal dari jasa yang diberikan bank.

Interest Spread Income dan Fee Based Income tentunya akan meningkatkan Revenue/pendapatan dari sisi bank. Sebagai penjelas, berikut ilustrasinya.

Seperti terlihat pada gambar di atas, untuk meningkatkan profit bank dapat dilakukan dengan dua metode. Pertama melalui optimalisasi penerimaan (revenue) dan yang kedua melalui Efisiensi (menurunkan Cost). Agar sisi Dana Pihak Ketiga (DPK) meningkat dan tentunya akan menaikkan pendapatan bagi bank, bank memberikan fasilitas dan kemudahan seperti integrasi databased dan berbagai kemudahan lainnya dalam bentuk teknologi informasi.
Pada metode kedua (menurunkan Cost), dilakukan melalui koreksi kegiatan operasional bank tersebut. Sebagai contoh: penerapatan IT pada bank dan meningkatkan Human Resources. Peningkatan Human Resources melalui efisiensinya dianggap sebagai Human Capital bagi sutau entitas yaitu bank. Peningkatan tersebut dapat dilakukan dengan melalui sertifikasi, capable yang tinggi, dan pekerja dapat melakukan berbagai tugas dengan bersamaan (multi tasking).
Sebagai contoh, penerapan Human Resources dengan menggunakan IT pada bank salah satunya yaitu penerapan Automatic Teller Machine (ATM). Dengan penerapan ATM diharapkan akan menekan biaya operasional dengan pengurangan pekerja akan tetapi dapat meningkatkan efisiensi dalam transaksi. Dengan demikian Fee Based Income akan lebih optimal bagi bank. Akan tetapi, penerapan IT dalam Bank tentu bukan investasi dengan biaya yang murah. Seperti dijelaskan dalam teori Productivity Paradoks, IT dapat bermanfaat bila diterapkan pada industry pelayanan masyarakat yang besar. Tentu hal tersebut dengan pertimbangan biaya investasi yang tinggi. Sebagai contoh penerapan hukum The Law of The Large Number, 1000 orang yang menabung dengan @ Rp 10.000 dibanding dengan 1 orang menabung dengan Rp 10.000.000 akan menghasilkan saldo yang sama yaitu pada angka Rp 10.000.000. Tentu ini akan meminimalkan risiko (Risk Minimize).
Dari keseluruhan penjelasan di atas merupakan konsentrasi penjelasan dilihat dari sisi Optimalisasi Operasional Bank atau dengan kata lain dilihat dari berbagai rasio BOPO.
Tolak ukur yang kedua dalam menentukan kebijakan bank adalah melalui kondisi Likuiditas bank yang bersangkutan. Berbicara mengenai likuiditas bank tentu tidak dapat dipisahkan dengan Legal Reserve Requirement (LRR).


Untuk mengatur antara Hight dan Low seperti pada gambar di atas, BI sebagai regulator mempunyai suatu alat yaitu Risk Management. Ini digunakan oleh BI untuk mengontrol Bank Umum yang mempunyai LRR pada BI.
Keberadaan Excess Reserve yang ditempatkan pada BI oleh bank umum tentu ada kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya adalah ketika suatu saat bank yang bersangkutan kalah kliring dan harus menyediakan dana dalam jumlah yang besar, bank tersebut tidak perlu melakukan Call Money untuk menutupnya. Karena secara tidak langsung, bank tersbut sudah mempunyai dana lebih yang ditempatkan dalam Bank Indonesia. Kekuranganya adalah bank tersebut menghilangkan kemungkinan investasi atau usaha yang dapat didanai dengan uang excess reserve yang ditempatkan di BI. Pada bagian Unloanable Fund dapat dikatakan save liquidity shock karena seperti dijelaskan sebelumnya. Sedangkan pada Loanable Fund lebih berisiko  karena banyak yang tersalur dalam bentuk kredit.

Berikut ilustrasi Konglomerasi.



            

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS