Setiap bank memiliki kebijakan
tersendiri untuk menentukan arah tujuan yang ingin dituju. Banyak tolak ukur
yang dapat dijadikan oleh bank untuk mempertimbangkan kebijakannya. Pada pembahasan
kali ini, saya akan membahas dua tolak ukur yang biasa dijadikan tolak ukur
oleh bank untuk menentukan kebijakan ekonomi bank. Baik dalam bentuk konservatif,
moderat, ataupun ekspansif.
Untuk mencapai kebijkan ekspansif, salah
satu tolak ukur untuk menentukan kebijakannya adalah melalui Loan to Debt Ratio (LDR). Untuk berada
pada posisi kebijakan ekspansif, bank harus memiliki LDR pada posisi 110%. Hal ini
merupakan prosentase penyaluran kredit yang dilakukan oleh bank tersebut. Adanya
kondisi LDR yang sebesar 110% seperti disebut sebelumnya, tentunya bank harus
menaikkan rasio keukupan modal atau Capital
Addecuacy Ratio (CAR). Karena berdasarkan kebijakan dari pemerintah yang
kita ketauhi, minimal kepemilikan modal sendiri untuk setiap bank adalah 20% dari
modal keseluruhan. Oleh karena itu, dengan adanya LDR yang dinaikkan maka akan
menimbulkan efek yang harus menaikkan modal juga.
Efek dari penyaluran kredit yang tinggi,
tentunya akan berdampak positif terhadap penerimaan dari bank tersebut. Dari penyaluran
kredit itu, Interest Spread Income tentu
akan naik juga. Karena seperti dijelaskan pada pembahasan sebelumya, i1 lebih
kecil dari pada i2 (i2 – i1). Selain itu, bank juga memperoleh pendapatan dari Fee Based Income yang berasal dari
penyaluran jasa dari bank berupa jasa kliring, valas, transfer, L/C & B/G,
dsb. Dana tersebut merupakan perolehan dari pihak ketiga (DPK) yang berasal
dari jasa yang diberikan bank.
Interest
Spread Income dan Fee Based Income tentunya akan meningkatkan Revenue/pendapatan dari sisi bank. Sebagai penjelas, berikut
ilustrasinya.
Seperti terlihat pada gambar di atas, untuk meningkatkan
profit bank dapat dilakukan dengan dua metode. Pertama melalui optimalisasi
penerimaan (revenue) dan yang kedua melalui Efisiensi (menurunkan Cost). Agar sisi
Dana Pihak Ketiga (DPK) meningkat dan tentunya akan menaikkan pendapatan bagi
bank, bank memberikan fasilitas dan kemudahan seperti integrasi databased dan
berbagai kemudahan lainnya dalam bentuk teknologi informasi.
Pada
metode kedua (menurunkan Cost), dilakukan melalui koreksi kegiatan operasional
bank tersebut. Sebagai contoh: penerapatan IT pada bank dan meningkatkan Human Resources. Peningkatan Human Resources melalui efisiensinya
dianggap sebagai Human Capital bagi
sutau entitas yaitu bank. Peningkatan tersebut dapat dilakukan dengan melalui
sertifikasi, capable yang tinggi, dan pekerja dapat melakukan berbagai tugas
dengan bersamaan (multi tasking).
Sebagai contoh, penerapan Human Resources dengan menggunakan IT
pada bank salah satunya yaitu penerapan Automatic
Teller Machine (ATM). Dengan penerapan ATM diharapkan akan menekan biaya
operasional dengan pengurangan pekerja akan tetapi dapat meningkatkan efisiensi
dalam transaksi. Dengan demikian Fee
Based Income akan lebih optimal bagi bank. Akan tetapi, penerapan IT dalam
Bank tentu bukan investasi dengan biaya yang murah. Seperti dijelaskan dalam
teori Productivity Paradoks, IT dapat
bermanfaat bila diterapkan pada industry pelayanan masyarakat yang besar. Tentu
hal tersebut dengan pertimbangan biaya investasi yang tinggi. Sebagai contoh
penerapan hukum The Law of The Large
Number, 1000 orang yang menabung dengan @ Rp 10.000 dibanding dengan 1
orang menabung dengan Rp 10.000.000 akan menghasilkan saldo yang sama yaitu
pada angka Rp 10.000.000. Tentu ini akan meminimalkan risiko (Risk Minimize).
Tolak ukur yang kedua dalam menentukan
kebijakan bank adalah melalui kondisi Likuiditas bank yang bersangkutan. Berbicara
mengenai likuiditas bank tentu tidak dapat dipisahkan dengan Legal Reserve Requirement (LRR).
Untuk mengatur antara Hight dan Low
seperti pada gambar di atas, BI sebagai regulator mempunyai suatu alat yaitu Risk Management. Ini digunakan oleh BI
untuk mengontrol Bank Umum yang mempunyai LRR pada BI.
Berikut ilustrasi Konglomerasi.
Dari
keseluruhan penjelasan di atas merupakan konsentrasi penjelasan dilihat dari
sisi Optimalisasi Operasional Bank atau dengan kata lain dilihat dari berbagai
rasio BOPO.
Keberadaan Excess Reserve yang ditempatkan pada BI oleh bank umum tentu ada
kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya adalah ketika suatu saat bank yang
bersangkutan kalah kliring dan harus menyediakan dana dalam jumlah yang besar,
bank tersebut tidak perlu melakukan Call
Money untuk menutupnya. Karena secara tidak langsung, bank tersbut sudah
mempunyai dana lebih yang ditempatkan dalam Bank Indonesia. Kekuranganya adalah
bank tersebut menghilangkan kemungkinan investasi atau usaha yang dapat didanai
dengan uang excess reserve yang
ditempatkan di BI. Pada bagian Unloanable
Fund dapat dikatakan save liquidity
shock karena seperti dijelaskan sebelumnya. Sedangkan pada Loanable Fund lebih berisiko karena banyak yang tersalur dalam bentuk
kredit.
Berikut ilustrasi Konglomerasi.
0 komentar:
Posting Komentar