Konsep Backward Bending Supply di Sektor Tenaga
Kerja
Masalah
tenaga kerja adalah masalah yang sangat kompleks dan besar. Kompleks karena
masalahnya mempengaruhi sekaligus dipengaruhi oleh banyak faktor yang saling
berinteraksi dengan pola yang tidak selalu mudah dipahami. Besar karena
menyangkut jutaan jiwa. Untuk menggambarkan masalah tenaga kerja dimasa yang
akan datang tidaklah gampang karena disamping mendasarkan pada angka tenaga
kerja di masa lampau, harus juga diketahui prospek produksi di masa mendatang.
Kondisi
kerja yang baik, kualitas output yang tinggi, upah yang layak serta kualitas
sumber daya manusia adalah persoalan yang selalu muncul dalam pembahasan
tentang tenaga kerja disamping masalah hubungan industrial antara pekerja
dengan dunia usaha.
Menurut Sudarsono (1990), Permintaan
dalam konteks ekonomi didefinisikan sebagai jumlah maksimum suatu barang atau
jasa yang dikehendaki seorang pembeli untuk dibelinya pada setiap kemungkinan
harga dalam jangka waktu tertentu. Dalam hubungannya dengan tenaga kerja,
permintaan tenaga kerja adalah hubungan antara tingkat upah dan jumlah pekerja
yang dikehendaki oleh pengusaha untuk dipekerjakan. Sehingga permintaan tenaga
kerja dapat didefinisikan sebagai jumlah tenaga kerja yang diperkerjakan
seorang pengusaha pada setiap kemungKinan tingkat upah dalam jangka waktu
tertentu.
Miller
& Meiners (1993), berpendapat bahwa permintaan tenaga kerja dipengaruhi
oleh nilai marjinal produk (Value of Marginal Product, VMP). Nilai
marjinal produk (VMP) merupakan perkalian antara Produk Fisik Marginal (Marginal Physical Product, MPP) dengan
harga produk yang bersangkutan. Produk Fisik Marginal (Marginal Physical Product, MPP) adalah
kenaikan total produk fisik yang bersumber dari penambahan satu unit input
variabel (tenaga kerja). Dengan mengasumsikan bahwa perusahaan beroperasi pada
pasar kompetitif sempurna maka besarnya VMP yang merupakan perkalian antara MPP
x P akan sama dengan harga input produk yang bersangkutan yaitu PN. Besarnya VMP = P
didapatkan dari pernyataan bahwa kombinasi input optimal atau biaya minimal dalam
proses produksi akan terjadi bila kurva isoquan menjadi tangens terhadap
isocost. Bila sudut garis isocost sama dengan -w/r. sedangkan besarnya sudut disetiap titik
pada isoquant sama dengan MPPI/MPPK, maka kombinasi input yang
optimal adalah : w/r = MPPL/MPPK atau
MPPK/r = MPPi7w.
Dimana r adalah tingkat bunga implisit yang bersumber dari modal sedangkan w
adalah tingkat upah per unit. Apabila persamaan diatas diperluas secara umum
maka akan menjadi:
MPPx/Px = MPPY/PY
Dalam kalimat lain, minimisasi biaya input atau maksimalisasi
output atas penggunaan input mensyaratkan penggunaan kombinasi yang sedemikian
rupa sehingga MPP untuk setiap input dengan harganya sama besar untuk setiap
input. Dengan demikian kenaikan satu unit input, misalnya x, akan memperbanyak
biaya produksi sebanyak Px, sekaligus akan memperbesar valume produk sebanyak
MPPx Itu berarti rasio Px / MPPx merupakan tingkat perubahan
total biaya perusahaan untuk setiap perubahan output fisiknya yang secara
definitif berarti sama dengan biaya marginalnya {MarginalCost,MC).Dari
sini maka persamaan diatas juga bisa dirubah menjadi :
MPPx/Px = MPPY/PY = MFPN/PN = 1/MC
Dengan
mengasumsikan bahwa perusahaan beroperasi pada pasar kompetitif sempurna maka
persamaan diatas bisa dirubah menjadi :
MPPx/Px = MPPY/PY = MPPN/PN = 1/MC- 1/MR= 1/P
Dari
persamaan diatas kita bisa mengetahui bahwa :
MPPx/Px = 1/MR = 1/P, sehingga MPPx
x P = Px untuk semua input.
Ini
berarti kurva VMP untuk tenaga kerja merupakan kurva permintaan tenaga kerja-jangka pendek- dari
perusahaan yang bersangkutan yang beroperasi dalam pasar persaingan sempurna {dengan Catatan kuantitas semua input
lainnya konstan). Bagi setiap perusahaan yang
beroperasi dalam pasar kompetisi sempurna itu, harga outputnya senantiasa
konstan terlepas dari berapa kuantitas output yang dijualnya. Harga input
disini juga kita asumsikan konstan. Penawarannya elastisitas serupurna untuk
semua perusahaan. Dengan demikian kuantitas tenaga kerja yang memaksimalkan
laba perusahaan terletak pada titik perpotongan antara garis upah (Tingkat upah
yang berlaku untuk pekerja terampil yang dibutuhkan perusahaan) dan kurva VMP
perusahaan. lni diperlihatkan oleh gambar 1.
Kuantitas Tenaga Kerja Yang
Memaksimumkan Laba
Jika tingkat upah per unit pekerja yang kualitasnya konstan adalah
wo maka kuantitas pekerja yang optimal adalah Lo. Garis horizontal yang
bertolak dari Wo merupakan kurva penawaran tenaga kerja untuk setiap perusahaan
yang beroperasi dalam pasar tenaga kerja yang kompetitif sempurna.
Perusahaan
akan menggunakan tenaga kerja tambahan jika MPPi lebih besar dari biaya tenaga
kerja tambahan. Biaya tenaga kerja tambahan ditentukan oleh upah riil yang
dihitung sebagai (upah nominal/tingkat harga), upah riil ini mengukur jumlah
output riil yang harus dibayar perusahaan untuk setiap pekerjanya, karena
dengan mengupah satu pekerja lagi menghasilkan kenaikan output untuk MPPL dan
biaya pada perusahaan, Untuk upah riil perusahaan akan mengupah tenaga kerja
tambahan selama MPPL melebihi
upah riil.
Dengan
mengasumsikan bahwa tenaga kerja dapat ditambah dan faktor produksi lain tetap,
maka perbandingan alat-alat produksi
untuk setiap pekerja menjadi lebih kecil dan tambahan hasil marginal menjadi
lebih kecil pula, atau dengan semakin banyak tenaga kerja digunakan semakin
turun MPPi, nya karena nilai MPPi. mengikuti hukum pertambahan hasil yang
semakin berkurang.
Bila
harga atau tingkat upah tenaga kerja naik, kuantitas tenaga kerja yang diminta
akan menurun, ini diperlihatkan oleh kenaikan arus upah yang berpotongan dengan
kurva VMP dalam kuantitas tenaga kerja yang lebih sedikit. Dengan berkurangnya
pekerja, produk fisik marginal dari input modal, atau MPPR, akan menurun karena kini setiap unit modal
digarap oleh lebih sedikit pekerja. Jika sebuah mesin dioperasikan oleh satu
orang , produk fisik marginal mesin itu akan menurun dibandingkan saat
sebelumnya ketika mesin itu diuais oleh beberapa orang. Karena kini hanya ada
satu pekerja, mereka tidak bisa bergantian menjalankan mesin, sehingga hasilnya
lebih sedikit. Dalam kalimat lain, modal bersifat komplementer terhadap tenaga
kerja, atau ada komplementaritas (complementary) diantara keduanya.
Pada
tingkat upah sebesar W2 penyerapan tenaga kerja oleh perusahaan yang optimal
adalah L3. Lalu upah naik menjadi Wi, tingkat penyerapan tenaga yang optimal
pun merambat ke L2 dimana
Garis upah yang horizontal yang baru berpotongan dengan kurva VMPi. karena
adanya komplementaritas input- input maka kenaikkan upah mengakibatkan produk
fisik marginal modal menurun dan bergeser ke kiri menjadi VMPi. perpotongan
baru dari garis upah horizontal (kurva penawaran tenaga kerja) adalah titik C,
tingkat penyerapan tenaga kerja yang optimal akan turun ke L. jika
titik A dan C dihubungkan akan diperoleh kurva permintaan tenaga kerja dL- dL.
Dengan
demikian, dengan jumlah tenaga kerja yang dipergunakan, produk fisik marjinal
modal akan menurun. Setiap unit modal kini membuahkan lebih sedikit hasil
sehingga tidak dapat menyerap banyak unit tenaga kerja. MPPR akan menurun seiring dengan menurunnya
tenaga kerja yang diserap. Perusahaan akan merekrut setiap unit input sampai
suatu titik dimana nilai produk marginalnya sama dengan harganya.
Penawaran Tenaga Kerja
Penawaran
tenaga kerja adalah jumlah tenaga kerja yang dapat disediakan oleh pemilik tenaga
kerja pada setiap kemungkinan upah dalam jangka waktu tertentu. Dalam teori
klasik sumberdaya manusia (pekerja) merupakan individu yang bebas mengarnbil
keputusan untuk bekerja atau tidak. Bahkan pekerja juga bebas untuk menetapkan
jumlah jam kerja yang diinginkannya. Teori ini didasarkan pada teori tentang
konsumen, dimana setiap individu bertujuan untuk memaksimumkan kepuasan dengan
kendala yang dihadapinya.
Menurut
G.S Becker (1976), Kepuasan individu bisa diperoleh melalui konsumsi atau
menikmati waktu luang (leissure).
Sedang kendala yang dihadapi individu adalah tingkat pendapatan dan waktu.
Bekerja sebagai kontrofersi dari leisure menimbulkan penderitaan, sehingga
orang hanya mau melakukan kalau memperoleh kompensasi dalam bentuk pendapatan,
sehingga solusi dari permasalahan individu ini adalah jumlah jam kerja yang
ingin ditawarkan pada tingkat upah dan harga yang diinginkan.
Kombinasi
waktu non pasar dan barang-barang pasar
terbaik adalah kombinasi yang terletak pada kurva indefferensi tertinggi yang
dapat dicapai dengan kendala tertentu. sebagaimana gambar 3, kurva penawaran
tenaga kerja mempunyai bagian yang melengkung ke belakang. Pada tingkat upah
tertentu penyediaan waktu kerja individu akan bertambah apabila upah bertembah
(dariW ke W1). Setelah
mencapai upah tertentu (W1),
pertambahan upah justru mengurangi waktu yang disediakan oleh individu untuk
keperluan bekerja (dari W1 ke WN). Hal ini disebut Backward
Bending Supply Curve.
Layard
dan Walters (1978), menyebutkan bahwa keputusan individu untuk menambah atau
mengurangi waktu luang dipengaruhi oleh tingkat upah dan pendapatan non kerja.
Adapun tingkat produktivitas selalu berubah-rubah sesuai
dengan fase produksi dengan polamula-mula naik mencapai puncak kemudian menurun.
Semakin
besar elastisitas tersebut semakin besar peranan input tenaga kerja untuk
menghasilkan output, berarti semakin kecil jumlah tenaga kerja yang diminta.
Sedangkan untuk menggambarkan pola kombinasi faktor produksi yang tidak
sebanding (Variable proportions) umumnya digunakan kurva isokuan
(isoquantities) yaitu kurva yang menggambarkan berbagai kombinasi faktor
produksi (tenaga kerja dan kapital) yang menghasilkan volume produksi yang
sama. Lereng isokuan menggamblfncan laju substitusi teknis marginal atau marginal Rate of Technical Substitution atau
dikenal dengan istilah MRS. Hal ini dimaksudkan untuk melihat hubungan antara
faktor tenaga kerja dan kapital yang merupakan lereng dari kurva isoquant
Teori Upah
Teori tentang pembentukan harga (pricing) dan
pendayagunaan input (employment) disebut
teori produktivitas marjinal (marginal productivity theory), lazim
juga disebut teori upah (wage theory). Produktivitas marjinal tidak terpaku semata-mata
pada sisi permintaan (demand side) dari
pasar tenaga kerja saja. telah diketahui suatu perusahaan kompetitif yang
membeli tenaga kerja di suatu pasar yang kompetitif sempurna akan mengerahkan
atau menyerap tenaga kerja sampai ke suaiu titik dimana tingkat upah sama
dengan nilai produk marjinal (YMF). Jadi pada dasarnya, kurva VMP merupakan
kurva permintaan suatu perusahaan akan tenaga kerja. Tingkat upah dan
pemanfaatan input (employment) sama-sama ditentukan
oleh interaksi antara penawaran dan permintaan. Berbicara mengenai teori
produktivitas marjinal upah sama saja dengan berbicara mengenai teori
permintaan harga-harga; dan
kita tak kan dapat berbicara mengenai teori permintaan harga-harga tersebut
karena sesungguhnya harga itu tidak hanya ditentukan oleh permintaannya, tapi
juga oleh penawarannya.
Proses Penyamaan Upah
Disadari
atau tidak, tingkat kepuasan (atau tingkat ketidakpuasan) masing-masingpekerja
atas suatu pekerjaan tidaklah sama, maka bisa difahami terjadinya kemungkinan
perbedaan tingkat upah yang mencerminkan adanya perbedaan selera atau
preferensi terhadap setiap jenis pekerjaan. Kemungkinan perbedaan tingkat upah
yang mencerminkan adanya perbedaan selera atau preferensi terhadap setiap jenis
pekerjaan inilah yang sering disebut sebagai teori penyamaan tingkat upah (theory of equalizing wage difference).Terkadang
seseorang mau mengorbankan rasa tidak sukanya terhadap suatu pekerjaan demi
memperoleh imbalan tinggi; atau sebaliknya ada orang yang mau menerima
pekerjaan yang memberi upah rendah, padahal dia bisa memperoleh pekerjaan yang
memberi upah lebih tinggi, semata-mata karena
ia menvukai pekerjaan tersebut. Setiap pekerjaan memiliki penewaran dan
permintaan tersendiri yang menentukan tingkat upah serta jumlah pekerja yang
bisa di serap.
Pada
gambar 4, diasumsikan disini hanya ada dua jenis pekerjaan. Rasio atau
perbandingan tingkat upah di kedua jenis pekerjaan , yakni Wi/W2, kita ukur lewat sumbu
vertikal. Sedangkan sumbu horizontal mengukur rasio employment atau
perbandingan penyerapan tenaga kerja oleh kedua jenis pekerjaan tersebut. Kurva
atau garis permintaan tenaga kerja mengarah ke bawah (artinya semakin ke bawah
tingkat upah, akan semakin banyak pekerja yang diserap oleh suatu perusahaan ).
Kurva penawaran sebaliknya, mengarah ke atas, itu berarti semakin banyak
perusahaan membutuhkan tenaga kerja, akan semakin besar tingkat upah yang harus
dibayarkan.
Dalam
analisis ini kita asumsikan semua tenaga kerja bisa melakukan semua pekerjaan
tersebut. Bentuk kurva penawaran itu mengarah ke atas juga dikarenakan adanya
perbedaan preferensi di kalangan pekerja atas dua macam pekerjaan yang
tersedia. Jika mereka tidak memiliki preferensi sama sekali, maka bentuk kurva
penawarannya lurus mendatar. Semakin curam atau semakin besar sudut kurva
penawaran itu terhadap garis mendatar, maka semakin besar kecenderungan para
pekerja untuk memilih salah satu pekerjaan daripada yang lain. Dalam situasi
ini, ekuilibrium Lercipta pada titik perpotongan antara DD dan SS, atau titik
E. Ini memunculkan sesuatu rasio upah relatif, katakanlah 1,4. dan rasio
penyerapan tenaga kerja, misalkan saja 0,8. itu berarti dalam kondisi
ekuilibrium , tingkat upah pekerjaan 1 40 % lebih tinggi daripada upah yang
diberikan oleh pekerjaan 2. Teori ini memberi tahu kita tingkat upah yang
relatif lebih tinggi harus ditawarkan oleh pekerjaan 1 demi memperoleh tenaga
kerja yang dibutuhkan nya. Tentu saja ini tidak sama dengan kenyataan sehari-hari yang
kita hadapi. Kita sering melihat orang yang bersedia melakukan pekerjaan yang
kurang disukainya dengan upah yang juga rendah. Ini terjadi karena yang menjadi
faktor penyebab bukan semata-matapreferensi
para pekerja, melainkan juga faktor keahlian dan keterbatasan lapangan kerja.
Upah Minimum
Upah
minimum adalah sebuah kontrofersi , bagi yang mendukung kebijakan tersebut
mengemukakan bahwa upah minimum diperlukan untuk memenuhi kebutuhan pekerja
agar sampai pada tingkat pendapatan "living wage", yang
berarti bahwa orang yang bekerja akan mendapatkan pendapatan yang layak untuk
hidupnya. Upah minimum dapat mencegah pekerja dalam pasar monopsoni dari
eksploitasi tenaga kerja terutama yang low skilled. Upah
minimum dapat meningkatkan produktifitas tenaga kerja dan mengurangi
konsekuensi pengangguran seperti yang diperkirakan teori ekonomi konvensional
(Kusnaini, D, 1998).
Bagi
yang tidak setuju dengan upah minimum mengemukakan alasan bahwa penetapan upah
minimum mengakibatkan naiknya pengangguran dan juga memungkinkan kecurangan
dalam pelaksanaan yang selanjutnya berpengaruh pada penurunan tingkat upah
dalam suatu sektor yang tidak terjangkau kebijakan upah minimum. Disamping itu
penetapan upah minimum tidak memiliki target yang jelas dalam pengurangan
kemiskinan. Dari perbedaan-perbedaan pandangan
tersebut kita bisa melacakakibat-akibat dari penetapan upah minimum yang
mungkin timbul -dengan beberapa asumsi, pertama bahwa semua
sektor dan semua tenaga kerja terjangkau kebijakan upah minimum, kedua
konsekuensi potensial dari efek shock terhadap pekerja diterapkan- Dalam
sejarah perkembangannya terdapat berbagai teori untuk menentukan tingkat upah
berlaku, penganut klasik menyatakan bahwa upah ditentukan oleh produktivitas
marginal tetapi Marshall dan juga Hicks menyatakan bahwa produktivitas marjinal
hanyalah menentukan permintaan terhadap buruh saja, jadi bukan terhadap
penawaran tenaga kerja. Namun akhirnya permintaan dan penawaran tenaga kerja
menentukan tingkat upah yang berlaku.
Isu
umum dalam pembahasan mengenai pasar kerja selalu diasumsikan terdapatnya
keseimbangan antara penawaran dan permintaan pekerja pada tingkat tertentu
dengan jumlah pekerja tertentu pula. Namun adakalanya keseimbangan ini tidak
selamanya menunjukkan tingkat upah yang terjadi di pasar kerja karena dalam
pelaksanaannya terdapat campur tangan pemerintah atau karena ada yang
menentukan tingkat upah minimum. Dalam jangka panjang, sebagian pengurangan
permintaan pekerja bersumber dari berkurangnya jumlah perusahaan, dan sebagian
lagi bersumber dari perubahan jumlah pekerja yang diserap masing-masing perusahaan.
Jumlah perusahaan bisa berkurang karena pemberlakuan tingkat upah minimum tidak
bisa ditanggung oleh semua perusahaan. Hanya perusahaan yang sanggup menanggung
upah minimum -atau yang berhasil menyiasati peraturan itu- yang
akan bertahan. Sebagai contoh anggap saja sejumlah perusahaan tertentu membayar
upah lebih tinggi dari pada Wm, khusus untuk pekerja unggul. Pemberlakuan
tingkat upah minimum akan meningkatkan upah rata-rata, tapi
tidak akan memacu kualitas pekerja secara keseluruhan. Akibatnya perusahaan
yang menyerap pekerja kualitas lebih rendah, tapi harus membayar upah lebih
tinggi, akan semakin sulit bersaing dengan perusahaan- perusahaan yang sejak
semula memberi upah tinggi tapi memang kualitas pekerjanya unggul.
Dampak
pemberlakuan hukum upah minimum tergantung pada kadar keseriusan
pelaksanaannya. Jika hukum itu tidak dipaksakan dan diawasi pelaksanaannya,
maka takkan ada perubahan yang berarti. Analisis mengenai upah minimum identik
dengan analisis kontrol harga lainnya.-upah adalah harga tenaga kerja-meskipun dampak
pemberlakuan tingkat upah minimum gampang dilihat ,- karena ketentuan itu secara jelas
menyebutkan bidang kerja apa saja yang upah minimumnya
diatur dan perkecualian apa saja yang masih mungkin diperbolehkan- tidaklah
berarti pemberlakuan upah minimum semacam itu selalu efektif.
Pemberlakuan upah minimum juga bisa menjadi tidak efektif
kalau masih tertumpu pada asumsi umum bahwa seluruh pekerja itu homogen dan
tingkat upah minimum berlaku bagi segenap pekerja.
Dalam pekerja-pekerja itu tidak homogen, melainkan bermacam- macam,
dan tingkat upah minimum biasanya hanya diperuntukkan untuk kelompok pekerja
tertentu, dalam kadar yang bervariasi. Jadi disini takkan terlihat pengaruh
pemberlakuan upah minimum terhadap total employment, melainkan hanya
pada keiompok-kelompokter tentu yang mendapat perlindungan hukum upah
minimum. Atau keiompok-kelompok yangbenar-benar menerima
pengaruh dari hukum tersebut. Pemberlakuan upah minimum justru
merugikan keiompok-kelompok tertentu. Peraturan upah minimum
membatasi peluang kerja bagi mereka yang tidak mempunyai keahlian. Pihak
perusahaan ternyata kemudian menaikkan keahlian atau ketrampilan dan semakin
padat modal; selama memungkinkan mereka lebih mengintensifkan
pemakaian modal daripada tenaga kerja. Disamping itu, adanya peraturan upah
minimum justru terkadang membatalkan niat perusahaan merekrut pekerja non ahli
dan membekalinya dengan pelatihan kerja atau ketrampilan khusus.
Ref:
Oleh : Maimun Sholeh
(Staf Pengajar FISE Universitas
Negeri Yogyakarta)
PERMINTAAN DAN PENAWARAN TENAGA KERJA
SERTA UPAH : TEORI SERTA BEBERAPA POTRETNYA DI INDONESIA
0 komentar:
Posting Komentar