Didalam sebuah negara yang mengakui
sebagai negara demokratis, tidak akan lengkap jika tidak ada pemilihan umum
atau biasa disingkat dengan pemilu. Pemilu merupakan salah satu bentuk atau
salah satu ciri negara demokratis. Jadi, tidak ada negara demokratis yang tidak
menjalankan pemilihan umum.
Di kebanyakan negar demokrasi, pemilihan
umum dianggap lambang, sekaligus tolak ukur, dari demokrasi itu. Hasil
pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan
kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan walaupun
tidak begitu akurat, partisipasi dan kebebasan masyarakat. Sekalipun
demikian, disadari bahwa pemilihan umum (PEMILU) tidak merupakan satu-satunya
tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang
lebih bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan
partai, lobbying, dan sebagainya.
Pemilihan umum juga menunjukkan seberapa
besar partisipasi politik masyarakat, terutama di negara berkembang. Kebanyakan
negara ini ingin cepat mengadakan pembangunan untuk mengejar
keterbelakangannya, karena dianggap bahwa berhasil-tidaknya pembangunan banyak
bergantung pada partisipasi rakyat. Ikut sertanya masyarakat akan membantu
penanganan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan-perbedaan etnis,
budaya, status sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Integritas nasional,
pembentukan identitas nasional, serta loyalitas terhadap negara diharapkan akan
ditunjang pertumbuhannya melalui partisipasi politik.
Di beberapa negara berkembang
partisipasi yang bersifat otonom, artinya lahir dari mereka sendiri itu masih
terbatas. Di beberapa negara yang rakyatnya apatis, pemerintah
menghadapi masalah bagaimana meningkatkan partisipasi itu, sebab jika partisipasi
mengalami jalan buntu, dapat terjadi dua hal yaitu “anomi” atau justru “
revolusi”. Maka melalui pemilihan umum yang sering didefinisikan
sebagai “pesta kedaulatan rakyat”, masyarakat dapat secara aktif
menyuarakan aspirasi mereka baik itu ikut berpartisipasi dalam kegiatan partai,
ataupun “menitipkan” dan “memercayakan” aspirasi mereka pada salah satu partai
peserta PEMILU yang dianggap dapat memenuhi, serta menjalankan aspirasi
masyarakat yang telah dipercayakan pada partai tersebut.
Indonesia sebagai salah satu negara
brkembang dan juga sebagai demokrasi yang sedang berusaha mencapai stabilitas
nasional dan memantapkan kehidupan politik juga mengalami gejolak-gejolak
sosial dan politik dalam proses pemilihan umum. Dalam perkembangan kehidupan
politiknya, indonesia selalu berusaha memperbaharui sistem pemlihan umum baik
itu dengan mengadopsi sistem yang ada di dunia barat (walaupun tidak semuanya
bekerja efektif di dalam negeri kita) untuk mencapai stabilitas nasional dan
politik maupun dengan pengalaman dari proses pemilihan umum yang sebelumnya.
Pengetian
Pemilihan Umum
Pemilihan Umum adalah proses memilih
orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu.
Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di
berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada
konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi
jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering
digunakan.
Selain itu, beberapa ahli berpendapat
tentang pemilu sebagai berikut:
1.
Dieter Nohlen
Mendefinisikan sistem pemilihan umum
dalam 2 pengertian, dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas,
sistem pemilihan umum adalah segala proses yang berhubungan dengan hak pilih,
administrasi pemilihan dan perilaku pemilih. Lebih lanjut Nohlen menyebutkan
pengertian sempit sistem pemilihan umum adalah cara dengan mana pemilih dapat
mengekspresikan pilihan politiknya melalui pemberian suara, di mana suara
tersebut ditransformasikan menjadi kursi di parlemen atau pejabat publik.
2.
Matias
Iaryczower and Andrea Mattozzi dari California Institute of Technology.
Menurut mereka, yang dimaksud dengan
sistem pemilihan umum adalah menerjemahkan suara yang diberikan saat Pemilu
menjadi sejumlah kursi yang dimenangkan oleh setiap partai di dewan legislatif
nasional. Dengan memastikan bagaimana pilihan pemilih terpetakan secara baik
dalam tiap kebijakan yang dihasilkan, menjadikan sistem pemilihan umum sebagai
lembaga penting dalam demokrasi perwakilan.
3.
Moh.
Kusnardi dan Harmaily Ibrahim
Pemilihan umum tidak lain adalah suatu
cara untuk memilih wakil-wakil rakyat. Dan karenanya bagi suatu negara yang
menyebut dirinya sebagai negara demokrasi, pemilihan umum itu harus
dilaksanakan dalam wakru-waktu tertentu.
4.
Bagir Manan
Pemilhan umum yang diadakan dalam siklus
lima (5) tahun sekali merupakan saat atau momentum memperlihatkan
secara nyata dan langsung pemerintahan oleh rakyat. Pada saat pemilihan umum
itulah semua calon yang diingin duduk sebagai penyelenggara negara dan
pemerintahan bergantung sepenuhnya pada keinginan atau kehendak rakyat.
Jadi dapat disimpulkan, pemilihan umum
merupakan suatu proses pemilihan yang dilakukan masyarakat pada waktu tertentu
dan tidak semua masyarakat dapat berpartisipasi didalam pemilihan umum
tersebut, karena ada syarat yang harus dipenuhi sebagai pemilih dan yang
dipilih.
Pada saat sekarang ini, pemilihan umum
dilakukan untuk mengisi jabatan politik, mulai dari pemilihan
presiden dan wakil presiden, pemilihan wakil rakyat diberbagai tingkatan, dan
lain sebagainya. Namun pada dasarnya pemilihan umum tidak saja mencakup hal-hal
tersebut, pemilihan ketua kelas juga termasuk pemilihan umum, hanya saja
berbeda ruang lingkupnya. Disini akan lebih dipusatkan pada Pemilihan Umum
secara garis besar, atau yang secara umum sering didiskusikan. Pemilu merupakan
salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara persuasif, salah satunya yaitu
melalui kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan
menjelang hari pemungutan suara. Pemenang Pemilu ditentukan oleh sistem
penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para
peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih.
Sistem Pemilihan
Umum
Dalam ilmu politik dikenal
bermacam-macam sistem pemilihan umum, namun pada umumnya ada dua system yang
umum digunakan, yaitu Single-Member Constituency dan Multi-Member Constituency.
Berikut penjelasannya:
1.
Single-Member Constituency
(Sistem Distrik)
Sistem ini merupakan
sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap
distrik mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Untuk keperluan itu
negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam dewan
perwakilan rakyat ditentukan oleh jumlah distrik. Calon yang dalam satu distrik
memperoleh suara yang terbanyak menang, sedangkan suara-suara yang ditujukan
kepada calon-calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak
diperhitungkan lagi, bagaimana kecil pun selisih kekalahannya, hal ini dinamakan
the first past the post (FPTP). Jadi tidak ada sistem menghitung suara lebih
seperti yang dikenal dalam Sistem Proposional.
Sistem pemilihan ini
dipakai di Inggris, Kanada, Amerika Serika dan India. Sistem Distrik ini
mempunyai beberapa kelemahan, antara lain:
a.
Kurang
memperhitungkan partai-partai kecil dan golongan minoritas.
b.
Kurang
representatif, karena partai yang calonnya kalah dalam suatu distrik, maka
sejumlah suara yang telah mendukungnya tidak diperhitungkan sama sekali. Hal
ini akan dianggap tidak adil oleh golongan-golongan yang merasa dirugikan.
c.
Kurang efektif
bila dipakai di negara yang masyarakatnya plural, karena akan memunculkan
kelompok-kelompok yang mengatasnamakan etnis dan agama.
d.
Adanya
kecenderungan wakil yang terpilih lebih memerhatikan kepentingan distrik
dibanding kepentingan nasional.
Di samping
kelemahan-kelemahan tersebut, ada keuntungan yang diperoleh negara-negara yang
memakai sistem ini, keuntungannya antara lain:
a.
Karena kecilnya
distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik, sehingga
hubungannya dengan penduduk distrik lebih erat.
b.
Sistem ini lebih
mendorong ke arah integrasi partai-partai politik karena kursi yang
diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong
partai-partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan
kerjasama.
c.
Berkurangnya
partai dan meningkatnya kerjasama antara partai-partai mempermudah
terbentuknya pemerintah yang stabil dan mempertingkat stabilitas nasional.
d.
Sistem ini
menunjang bertahannya sistem dwi-partai.
e.
Sistem ini
sederhana dan murah untuk diselenggarakan.
2.
Multi-Member Constituency (Sistem Proporsional)
Adanya sistem ini
bertujuan untuk mengurangi kelemahan dari sistem distrik. Jumlah kursi yang
diperoleh oleh suatu partai sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya.
Negara dianggap sebagai satu daerah pemilihan yang besar, akan tetapi untuk
keperluan teknis-administratif dibagi dalam beberapa daerah pemilihan yang
besar, di mana setiap daerah pemilihan memilih sejumlah wakil sesuai dengan
banyaknya penduduk dalam daerah pemilihan itu. Dalam sistem ini setiap suara
dihitung, hal ini diperlukan guna memperoleh kursi tambahan. Sistem
Proporsional dipakai dibeberapa negara diantaranya yaitu Belanda, Swedia,
Belgia dan Indonesia.
Sama halnya dengan
sistem distrik, pada sistem proporsional juga terdapat beberapa kelemahan,
antara lain:
a.
Sistem ini
memunculkan partai-partai baru.
b.
Wakil yang
terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada partai dan kurang merasakan
loyalitas kepada daerah yang telah memilihnya. Hal ini disebabkan selain
karena wilayahnya lebih besar, sehingga sulit untuk dikenal orang banyak, juga
peran partai lebih besar dalam meraih kemenangan, yang akan membuat wakil yang
terpilih lebih memerhatikan kepentingan partainya.
c.
Sistem
Proporsional memberikan kedudukan yang kuat pada pimpinan partai melalui Sistem
Daftar karena pimpinan partai menentukan daftar calon.
d.
Banyaknya partai
mempersulit terbentuknya pemerintah yang stabil, karena umumnya harus
mendasarkan diri atas koalisi dari dua partai atau lebih.
Sistem ini mempunyai keuntungan,
yaitu bahwa Sistem Proporsional bersifat representatif dalam arti bahwa setiap
suara turut diperhitungkan dan praktis tidak ada suara yang hilang.
Golongan-golongan bagaimana kecil pun, dapat menempatkan wakilnya dalam badan
perwakilan rakyat. Masyarakat yang heterogeen sifatnya, umumnya lebih tertarik
pada sistem ini, karena dianggap lebih menguntungkan bagi masing-masing
golongan. Disamping dua sistem tersebut, dikenal juga beberapa macam sistem
lainnya, yaitu Block Vote, Alternative Vote, Two-Round System, Limited Vote,
Single Non-Transferable Vote, Mixed Member Proporsional dan Single Transferable
Vote. Berikut penjelasannya:
a.
Block Vote, merupakan penerapan
pluralitas suara dalam distrik dengan lebih dari 1 wakil. Pemilih punya banyak
suara sebanding dengan kursi yang harus dipenuhi di distriknya, juga mereka
bebas memilih calon terlepas dari afiliasi partai politiknya. Mereka boleh
menggunakan banyak pilihan atau sedikit pilihan, sesuai kemauan pemilih
sendiri.
Sistem ini biasa digunakan di negara dengan partai
politik yang lemah atau tidak ada. Kelebihan sistem ini memberikan keleluasaan
bagi pemilih untuk menentukan pilihannya. Kekurangannya yaitu sistem ini bisa
menunjukkan hasil yang sulit diprediksi.
b.
Alternate Vote,
sama dengan First Past The Post, sebab dari setiap distrik dipilih satu orang
wakil saja. Bedanya yaitu dalam penghitungan suara. Sistem ini digunakan di
Fiji dan Papua Nugini.
Kelebihannya adalah memungkinkan pilihan atas
sejumlah calon berakumulasi. Kelemahannya adalah, ia menghendaki tingkat
baca-tulis huruf dan angka yang tinggi di kalangan pemilih, di samping
kemampuan pemilih untuk menganalisis para calon.
c.
Two Round System
adalah sistem pluralitas di mana proses pemilu tahap 2 akan diadakan jika
pemilu tahap 1 tidak ada yang memperoleh suara mayoritas yang ditentukan
sebelumnya. Negara-negara yang menggunakan Two Round System adalah Perancis,
Republik Afrika Tengah, Kongo, Gabon, Mali, Mauritania, Togo, Mesir, Haiti,
Iran, Kiribati, Vietnam, Belarusia, Kyrgyztan, Turkmenistan, dan Uzbekistan.
Kelebihan
Two Round System adalah memungkinkan pemilih punya kesempatan kedua bagi calon
yang dijagokannya sekaligus mengubah pikirannya dan memungkinkan kepentingan
yang beragam berkumpul di kandidat yang masuk ke putaran kedua pemilu.
Kekurangannya adalah membuat penyelenggara Pemilu bekerja ekstra keras jika ada
putaran kedua, membuat dana pemilu membengkak, juga dicurigai membuat
fragmentasi antar partai-partai politik.
d.
Limited Vote
adalah sistem Pluralitas yang digunakan untuk distrik-distrik dengan lebih dari
satu wakil. Pemilih punya lebih dari satu suara. Kandidat dengan total suara
tertinggi memenangkan kursi. Kelebihan sistem ini yaitu mudah bagi para pemilih
dan relatif mudah dihitung. Kelemahannya, ia cenderung menghasilkan hasil yang
kurang proporsional. Selain itu, juga berakibat pada kompetisi internal partai.
e.
Single Non Transferable Vote,
setiap pemilih memiliki satu suara bagi tiap calon, lebih dari satu kursi yang
harus diisi di tiap distrik pemilihan. Calon-calon dengan total suara tertinggi
mengisi posisi. Kelebihan SNTV adalah kemampuannya memfasilitasi perwakilan
partai minoritas dan calon independen. Semakin besar jumlah kursi, semakin
sistem ini menjadi proporsional. Sistem ini menjadikan partai terorganisir dan
menyuruh pemilih memberikan suaranya kepada partai lain yang lebih berpotensi
memenangkan suara dan ujungnya, menciptakan satu partai dominan. Selain itu,
SNTV dinyatakan sebagai mudah digunakan. Kelemahan SNTV adalah, partai kecil
yang suaranya tersebar mungkin saja tidak akan memenangkan kursi dan partai
perlu mempertimbangkan strategi yang rumit seputar manajemen nominasi calon dan
pemberian suara.
f.
Mixed Member Proportional. Di
bawah sistem MMP, kursi sistem Proporsional dianugrahkan bagi setiap hasil yang
dianggap tidak proporsional. MMP digunakan di Albania, Bolivia, Jerman,
Hungaria, Italia, Lesotho, Meksiko, Selandia Baru, dan Venezuela. Di
negara-negara ini, kursi distrik dipilih menggunakan FPTP. Hungaria menggunakan
TRS dan metode Italia lebih rumit lagi, seperempat kursi di majelis rendah
dicadangkan untuk mengkompensasikan suara terbuang di distrik-distrik dengan
satu wakil. Meskipun MMP didesain untuk hasil yang lebih proporsional, adalah
mungkin terjadi ketidakproporsionalan begitu besar di distrik dengan satu
wakil, sehingga kursi yang terdaftar tidak cukup untuk mengkompensasikannya.
g.
Single Transferable Vote.
Single
Transferable Vote (STV) banyak dinyatakan sebagai sistem pemilu yang menarik.
STV menggunakan satu distrik lebih dari satu wakil, dan pemilih merangking
calon menurut pilihannya di kertas suara seperti pada Alternate Vote. Dalam memilih, pemilih dibebaskan untuk merangking
ataupun cukup memilih satu saja. Sistem ini dipakai di Malta dan Republik
Irlandia. Setelah total suara yang memperoleh rangking pertama dihitung,
perhitungan dilanjutkan dengan membuat kuota yang dibutuhkan bagi seorang
calon. Kelebihan Single Transferable Vote sama dengan Proporsional secara umum,
sebab memungkinkan pilihan dibuat baik antarpartai maupun antarcalon dalam satu
partai. Kelemahan dari STV adalah rumitnya proses perhitungan serta membutuhkan
tingkat kenal huruf dan angka yang tinggi dari para pemilih. Sistem ini juga
memancing fragmentasi di dalam internal partai poitik oleh sebab calon-calon
dari partai yang sama saling bersaing satu sama lain.
Pemilihan Umum
Di Indonesia
Pada pembahasan kali ini menjelaskan
secara singkat tentang sejarah pemilu di Indonesia, mulai dari tahun 1955
sampai dengan 2009 yang mencakup gambaran mengenai sistem pemilu, asas pemilu,
dasar hukum penyelenggaraan pemilu. badan penyelenggara pemilu dan peserta
pemilu.
A.
Pemilu
1955 (Masa Parlementer).
1.
Sistem Pemilu
Pemilu 1955 adalah pemilu pertama yang
diselenggarakan dalam sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia yang baru berusia
10 (sepuluh) tahun. Pemilu 1955 dilaksanakan pada masa Demokrasi Parlementer
pada kabinet Burhanuddin Harahap. Pemungutan suara dilakukan 2 (dua) kali,
yaitu untuk memilih anggota DPR pada 29 September 1955 dan untuk memilih
anggota Dewan Konstituante pada 15 Desember 1955.
2.
Asas Pemilu
Pemilu 1955
dilaksanakan dengan asas :
a.
Jujur, artinya
bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan per-undangan
yang berlaku.
b.
Umum, artinya
semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan minimal dalam usia,
mempunyai hak memilih dan dipilih.
c.
Berkesamaan,
artinya bahwa semua warga negara yang telah mempunyai hak pilih mempunyai hak
suara yang sama, yaitu masing-masing satu suara.
d.
Rahasia, artinya
bahwa pemilih dalam memberikan suara dijamin tidak akan diketahui oleh siapapun
dan dengan cara apapun mengenai siapa yang dipilihnya.
e.
Bebas, artinya
bahwa setiap pemilih bebas menentukan pilihannya menurut hati nura-ninya, tanpa
ada pengaruh, tekanan, paksaan dari siapapun dan dengan cara apapun.
f.
Langsung,
artinya bahwa pemilih langsung memberikan suaranya menurut hati nura-ninya,
tanpa perantara, dan tanpa tingkatan.
3.
Dasar Hukum
Penyelenggaraan
a.
Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1953 tentang pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota DPR
sebagaimana diubah dengan UU Nomor 18 Tahun 1953.
b.
Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1954 tentang Menyelenggarakan Undang-Undang Pemilu.
c.
Peraturan
Pemerintah Nomor 47 Tahun 1954 tentang Cara Pencalonan Keanggotaan
DPR/Konstituante oleh Anggota Angkatan Perang dan Pernyataan Non Aktif/Pemberhentian
berdasarkan penerimaan keanggotaan pencalonan keanggotaan tersebut, maupun
larangan mengadakan Kampanye Pemilu terhadap Anggota Angkatan Perang.
4.
Badan
Penyelenggara Pemilu
Untuk menyelenggarakan
Pemilu dibentuk badan penyelenggara pemilihan, dengan berpedoman pada Surat
Edaran Menteri Kehakiman Nomor JB.2/9/4 Und.Tanggal 23 April 1953 dan
5/11/37/KDN tanggal 30 Juli 1953, yaitu:
a.
Panitia
Pemilihan Indonesia (PPI): mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan anggota
Konstituante dan anggota DPR. Keanggotaan PPI sekurang-kurangnya 5 (lima) orang
dan sebanyak-banyaknya 9 (sembilan) orang, dengan masa kerja 4 (empat) tahun.
b.
Panitia
Pemilihan (PP) : dibentuk di setiap daerah pemilihan untuk membantu persiapan
dan menyelenggarakan pemilihan anggota konstituante dan anggota DPR. Susunan
keanggotaan sekurang-kurangnya 5 (lima) orang anggota dan sebanyak-banyaknya 7
(tujuh) orang anggota, dengan masa kerja 4 (empat) tahun.
c.
Panitia
Pemilihan Kabupaten (PPK) dibentuk pada tiap kabupaten oleh Menteri Dalam
Negeri yang bertugas membantu panitia pemilihan mempersiapkan dan menyelenggarakan
pemilihan anggota Konstituante dan anggota DPR.
d.
Panitia
Pemungutan Suara (PPS) dibentuk di setiap kecamatan oleh Menteri Dalam Negeri
dengan tugas mensahkan daftar pemilih, membantu persiapan pemilihan anggota
Konstituante dan anggota DPR serta menyelenggarakan pemungutan suara.
Keanggotaan PPS sekurang-kurangnya 5 (lima) orang anggota dan Camat karena jabatannya
menjadi ketua PPS merangkap anggota. Wakil ketua dan anggota diangkat dan
diberhentikan oleh PPK atas nama Menteri Dalam Negeri.
5.
Peserta Pemilu
1955
Pemilu anggota DPR
diikuti 118 peserta yang terdiri dari 36 partai politik, 34 organisasi
kemasyarakatan, dan 48 perorangan, sedangkan untuk Pemilu anggota Konstituante
di ikuti 91 peserta yang terdiri dari 39 partai politik, 23 organisasi
kemasyarakatan, dan 29 perorangan. Partai politik tersebut antara lain :
a.
Partai Komunis
Indonesia (PKI), berdiri 7 Nopember 1945, diketuai oleh Moh.Yusuf Sarjono
b.
Partai Islam Masjumi,
berdiri 7 Nopember 1945, diketuai oleh dr. Sukirman Wirjosardjono
c.
Partai Buruh
Indonesia, berdiri 8 Nopember 1945, diketuai oleh Nyono
d.
Partai Rakyat
Djelata, berdiri 8 Nopember 1945, diketuai oleh Sutan Dewanis
e.
Partai Kristen
Indonesia (Parkindo), berdiri 10 Nopember 1945 diketuai oleh DS. Probowinoto
f.
Partai Sosialis
Indonesia, berdiri 10 Nopember 1945 diketuai oleh Mr. Amir Syarifudin
g.
Partai Rakyat
Sosialis, berdiri 20 Nopember 1945 diketuai oleh Sutan Syahrir
h.
Partai Katholik
Republik Indonesia (PKRI), berdiri 8 Desember 1945, diketuai oleh J. Kasimo
i.
Persatuan Rakyat
Marhaen Indonesia (Permai) diketuai oleh JB. Assa
j.
Gabungan Partai
Sosialis Indonesia dan Partai Rakyat Sosialis, menjadi Partai Sosialis pada 17
Desember 1945, diketuai oleh Sutan Syahrir, Amir Syarifudin dan Oei Hwee Goat
k.
Partai Republik
Indonesia, Gerakan Republik Indonesia dan Serikat Rakyat Indonesia menjadi Partai
Nasional Indonesia (PNI) 29 Januari 1946, diketuai oleh Sidik Joyosuharto.
B.
Pemilu 1971-1997 (Masa Orde Baru)
1.
Pemilu 1971
a.
Sistem Pemilu
Pemilu 1971 merupakan pemilu
kedua yang diselenggarakan bangsa Indonesia. Pemilu 1971 dilaksanakan pada
pemerintahan Orde Baru, tepatnya 5 tahun setelah pemerintahan ini berkuasa.
Pemilu yang dilaksanakan pada 5 Juli 1971 ini diselenggarakan untuk memilih
Anggota DPR.
Sistem Pemilu 1971 menganut
sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan sistem stelsel daftar,
artinya besarnya kekuatan perwakilan organisasi dalam DPR dan DPRD, berimbang
dengan besarnya dukungan pemilih karena pemilih memberikan suaranya kepada
Organisasi Peserta Pemilu.
b. Asas Pemilu
Pemilu 1971
dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia (LUBER).
i. Langsung, artinya bahwa pemilih langsung memberikan
suaranya menurut hati nuraninya, tanpa perantara, dan tanpa tingkatan.
ii. Umum, artinya semua warga negara yang telah memenuhi
persyaratan minimal dalam usia, mempunyai hak memilih dan dipilih.
iii. Bebas, artinya bahwa setiap pemilih bebas menentukan
pilihannya menurut hati nura-ninya, tanpa ada pengaruh, tekanan, paksaan dari
siapapun dan dengan cara apapun.
iv. Rahasia, artinya bahwa pemilih dalam memberikan
suara dijamin tidak akan diketahui oleh siapapun dan dengan cara apapun
mengenai siapa yang dipilihnya.
c.
Dasar Hukum
i. TAP MPRS No. XI/MPRS/1966
ii. TAP MPRS No. XLII/MPRS/1966
iii. UU Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum
Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan / Perwakilan Rakyat
iv. UU Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan
MPR, DPR, dan DPRD.
d.
Badan
Penyelenggara Pemilu
Lembaga Pemilihan Umum
(LPU) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1970. LPU diketuai oleh
Menteri Dalam Negeri yang keanggotaannya terdiri atas Dewan Pimpinan, Dewan
Pertimbangan, Sekretariat Umum LPU dan Badan Perbekalan dan Perhubungan .
Struktur organisasi penyelenggara
di pusat, disebut Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), di provinsi disebut
Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I (PPD I), di kabupaten/kotamadya disebut
Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II, di kecamatan disebut Panitia Pemungutan
Suara (PPS) dan di desa/kelurahan disebut Panitia Pendaftaran Pemilih
(Pantarlih). Untuk melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara dibentuk
Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Bagi warga negara RI di luar
negeri dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), Panitia Pemungutan Suara
Luar Negeri (PPSLN), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri
(KPPSLN) yang bersifat sementara (adhoc).
e.
Peserta Pemilu
1971 :
i. Partai Nahdlatul Ulama
ii. Partai Muslim Indonesia
iii. Partai Serikat Islam Indonesia
iv. Persatuan Tarbiyah Islamiiah
v. Partai Nasionalis Indonesia
vi. Partai Kristen Indonesia
vii. Partai Katholik
viii.
Partai Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia
ix. Partai Murba
x. Sekber Golongan Karya
2.
Pemilu 1977
a.
Sistem
Pemilu
Pemilu
kedua pada pemerintahan orde baru ini diselenggarakan pada tanggal 2 Mei 1977.
Sama halnya dengan Pemilu 1971, pada Pemilu 1977 juga menggunakan sistem perwakilan
berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.
b.
Asas
Pemilu
Pemilu 1977
dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.
c.
Dasar
Hukum
i. Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang
Garis-garis Besar Haluan Negara Bidang Politik, Aparatur Pemerintah, Hukum dan
Hubungan Luar Negeri.
ii. Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1973
tentang Pemilihan Umum.
iii. Undang-undang Nomor 3/1975 Tentang
Partai Politik dan Golongan Karya.
iv. Undang-undang Nomor 5/1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di daerah.
v. Undang-undang Nomor 8/1974 tentang
Pokok-pokok Kepegawaian.
vi. Undang-undang Nomor 5/1979 tentang
Pemerintahan Desa.
d.
Badan
Penyelenggara Pemilu
Pemilu 1977
diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Pemilu yang memiliki struktur yang
sama dengan penyelenggaraan pada tahun 1971, yaitu PPI ditingkat pusat, PPD I
di provinsi, PPD II di kabupaten/kotamadya, PPS di kecamatan, Pantarlih di
desa/kelurahan, dan KPPS. Bagi warga negara Indonesia di luar negeri dibentuk
PPLN, PPSLN, dan KPPSLN yang bersifat sementara (adhoc).
e.
Peserta Pemilu
Pada Pemilu 1977, ada
fusi atau peleburan partai politik peserta Pemilu 1971 se-hingga Pemilu 1977
diikuti 3 (tiga) peserta Pemilu, yaitu:
i. Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan
fusi/penggabungan dari: NU, Parmusi, Perti, dan PSII.
ii. Golongan Karya (GOLKAR).
iii. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) merupakan
fusi/penggabungan dari: PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai IPKI, dan Partai
Murba.
3.
Pemilu 1982
a.
Sistem Pemilu
Pemilu 1982 merupakan
pemilu ketiga yang diselenggarakan pada pemerintahan Orde Baru. Pemilu ini
diselenggarakan pada tanggal 4 Mei 1982. Sistem Pemilu 1982 tidak berbeda
dengan sistem yang digunakan dalam Pemilu 1971 dan Pemilu 1977, yaitu masih
menggunakan sistem perwakilan berimbang (proporsional).
b.
Asas Pemilu
Pemilu 1982
dilaksanakan dengan asas Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia.
c.
Dasar Hukum
i. Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis
Besar Haluan Negara dan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1978 Tentang Pemilu.
ii. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1980 tentang Pemilihan
Umum.
iii. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1980 sebagai
pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1976.
d.
Badan
Penyelenggara Pemilu
Struktur organisasi
penyelenggara Pemilu1982 sama dengan struktur organisasi penyelenggara Pemilu
1977, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih, dan KPPS serta
PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.
e.
Peserta Pemilu
1982
i. Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
ii. Golongan Karya (Golkar).
iii. Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
4.
Pemilu 1987
a.
Sistem Pemilu
Pemilu keempat pada
pemerintahan Orde Baru dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. Sistem Pemilu
yang digunakan pada tahun 1987 masih sama dengan sistem yang digunakan dalam
Pemilu 1982, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan
stelsel daftar.
b.
Asas Pemilu
Pemilu 1987
dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.
c.
Dasar Hukum
i. Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN dan
Ketetapan MPR Nomor III/ MPR/1983 tentang Pemilihan Umum.
ii. UU Nomor 1 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas UU
Nomor 15 Tahun 1969 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 4 Tahun 1975 dan
UU Nomor 2 Tahun 1980.
iii. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1980 sebagai
pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 1976.
d.
Badan
Penyelenggara Pemilu.
Struktur organisasi
penyelenggara Pemilu 1987 sama dengan struktur organisasi penyelenggara Pemilu
1982, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih dan KPPS, serta
PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.
e.
Peserta Pemilu
1987
i. Partai Persatuan Pembangunan.
ii. Golongan Karya
iii. Partai Demokrasi Indonesia.
5.
Pemilu 1992
a.
Sistem Pemilu
Pemilu kelima pada
pemerintahan Orde Baru dilaksanakan pada tanggal 9 Juni 1992. Sistem Pemilu
yang digunakan pada tahun 1992 masih sama dengan sistim yang digunakan dalam
Pemilu 1987, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan
stelsel daftar.
b.
Asas Pemilu
Pemilu 1987
dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.
c.
Dasar Hukum.
i. Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1988 tentang GBHN dan
Ketetapan MPR Nomor III/ MPR/1988 tentang Pemilu.
ii. UU Nomor 1 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas UU
Nomor 15 Tahun 1969 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 4 Tahun 1975 dan
UU Nomor 2 Tahun 1980.
iii. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1985.
iv. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1985
v. Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1990
d.
Badan
Penyelenggara Pemilu.
Struktur organisasi
penyelenggara Pemilu 1992 sama dengan struktur organisasi penyelenggara Pemilu
1987, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih dan KPPS, serta
PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.
e.
Peserta Pemilu
1992.
i. Partai Persatuan Pembangunan.
ii. Golongan Karya.
iii. Partai Demokrasi Indonesia.
6.
Pemilu 1997
a.
Sistem Pemilu.
Pemilu keenam pada
pemerintahan Orde Baru ini dilaksanakan pada tanggal 29 Mei 1997. Sistem Pemilu
yang digunakan pada tahun 1997 masih sama dengan sistem yang digunakan dalam
Pemilu 1992, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan
stelsel daftar.
b.
Asas Pemilu.
Pemilu 1997
dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.
c.
Dasar Hukum.
i. Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993 tentang GBHN dan
Ketetapan MPR Nomor III/ MPR/1993 tentang Pemilu.
ii. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pemilihan
Umum.
iii. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1985 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975
dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985
d.
Badan
Penyelenggara Pemilu.
Struktur organisasi
penyelenggara Pemilu 1997 sama dengan struktur organisasi penyelenggara Pemilu
1992, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih dan KPPS, serta
PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.
e.
Peserta Pemilu
1997.
i. Partai Persatuan Pembangunan.
ii. Golongan Karya.
iii. Partai Demokrasi Indonesia.
C.
Pemilu
1999-2009 (Masa Reformasi)
1. Pemilu
1999
a. Sistem
Pemilu.
Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama
pada masa reformasi. Pemungutan suara dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999
secara serentak di seluruh wilayah Indonesia. Sistem Pemilu 1999 sama dengan
Pemilu 1997 yaitu sistem perwakilan berimbang (propor-sional) dengan stelsel
daftar.
b. Asas
Pemilu.
Pemilu 1999 dilaksanakan dengan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
c. Dasar
Hukum.
i. Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.
ii. Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
iii. Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
d. Badan
Penyelenggara Pemilu.
Pemilu tahun 1999 dilaksanakan oleh
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dibentuk oleh Presiden. KPU beranggotakan 48
orang dari unsur partai politik dan 5 orang wakil pemerintah. Dalam
menyelenggarakan Pemilu, KPU juga dibantu oleh Sekretariat Umum KPU.
Penyelenggara pemilu tingkat pusat dilaksanakan oleh Panitia Pemilihan
Indonesia (PPI) yang jumlah dan unsur anggotanya sama dengan KPU. Untuk penyelenggaraan
di tingkat daerah dilaksanakan oleh PPD I, PPD II, PPK, PPS, dan KPPS. Untuk
penyelenggaraan di luar negeri dilaksanakan oleh PPLN, PPSLN, dan KPPSLN yang
keanggotaannya terdiri atas wakil-wakil parpol peserta Pemilu ditambah beberapa
orang wakil dari pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat.
e. Peserta
Pemilu 1999.
2. Pemilu 2004
Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama
yang memungkinkan rakyat memilih langsung wakil mereka untuk duduk di DPR,
DPD, dan DPRD serta memilih langsung presiden dan wakil presiden. Pemilu 2004
diselenggarakan secara serentak pada tanggal 5 April 2004 untuk memilih 550
Anggota DPR, 128 Anggota DPD, serta Anggota DPRD (DPRD Provinsi maupun DPRD
Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2004-2009. Sedangkan untuk memilih
presiden dan wakil presiden untuk masa bakti 2004-2009 diselenggarakan pada
tanggal 5 Juli 2004 (putaran I) dan 20 September 2004 (putaran II).
a. Sistem
Pemilu.
Pemilu 2004 dilaksanakan dengan sistem
yang berbeda dari pemilu-pemilu sebelumnya. Pemilu untuk memilih Anggota DPR
dan DPRD (termasuk didalamnya DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota)
dilaksanakan dengan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan sistem
daftar calon terbuka. Partai politik akan mendapatkan kursi sejumlah suara sah
yang diperolehnya. Perolehan kursi ini akan diberikan kepada calon yang
memenuhi atau melebihi nilai BPP. Apabila tidak ada, maka kursi akan diberikan
kepada calon berdasarkan nomor urut. Pemilu untuk memilih Anggota DPD
dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak.
b. Asas
Pemilu.
Pemilu 2004 dilaksanakan dengan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
c. Dasar
Hukum.
i. Undang-undang
No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
ii. Undang-undang
No. 12 Thn 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.
iii. Undang
Undang Nomor 23 tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden.
d. Badan
Penyelenggara Pemilu
Penyelenggaraan Pemilu 2004 dilakukan
oleh KPU. Penyelenggaraan ditingkat provinsi dilakukan KPU Provinsi, sedangkan
ditingkat kabupaten/kota oleh KPU Kabupaten/Kota. Selain badan penyelenggara
pemilu diatas, terdapat juga penyelenggara pemilu yang bersifat sementara
(adhoc) yaitu Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemu-ngutan Suara
(PPS) untuk tingkat desa/kelurahan, dan Kelompok Penyelenggara Pemu-ngutan
Suara (KPPS) untuk di TPS. Untuk penyelenggaraan di luar negeri, dibentuk
Panitia Pemungutan Luar Negeri (PPLN) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan
Suara Luar Negeri (KPPSLN).
e. Peserta
Pemilu 2004.
i. Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2004 diikuti oleh 24 partai, yaitu:
Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun
2004
Peserta Pemilu Presiden
dan Wakil Presiden tahun 2004 putaran I (pertama) sebanyak 5 (lima) pasangan,
adalah sebagai berikut:
Karena kelima pasangan
calon presiden dan wakil presiden peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
putaran I (pertama) belum ada yang memperoleh suara lebih dari 50%, maka
dilakukan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden putaran II (kedua), dengan peserta
dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang memperoleh suara terbanyak
pertama dan terbanyak kedua, yaitu :
3.
Pemilu 2009.
Pemilu 2009 merupakan
pemilu ketiga pada masa reformasi yang diselenggarakan secara serentak pada
tanggal 9 April 2009 untuk memilih 560 Anggota DPR, 132 Anggota DPD, serta
Anggota DPRD (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode
2009-2014. Sedangkan untuk memilih presiden dan wakil presiden untuk masa bakti
2009-2014 diselenggarakan pada tanggal 8 Juli 2009 (satu putaran).
a.
Sistem Pemilu.
Pemilu 2009 untuk
memilih Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan
sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan sistem daftar calon terbuka.
Kursi yang dimenangkan setiap partai politik mencerminkan proporsi total suara
yang didapat setiap parpol. Mekanisme sistem ini memberikan peran besar kepada
pemilih untuk menentukan sendiri wakilnya yang akan duduk di lembaga
perwakilan. Calon terpilih adalah mereka yang memperoleh suara terbanyak. Untuk
memilih Anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak. Distrik
disini adalah provinsi, dimana setiap provinsi memiliki 4 (empat) perwakilan.
b.
Asas Pemilu.
Pemilu 2009
dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
c.
Dasar Hukum.
i. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum;
ii. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik;
iii. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD;
iv. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden.
d.
Badan
Penyelenggara Pemilu
UUD 1945 menyebutkan
bahwa Pemilihan Umum dilaksanakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang
bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Penyelenggara pemilu ditingkat nasional
dilaksanakan oleh KPU, ditingkat provinsi dilaksanakan oleh KPU Provinsi,
ditingkat kabupaten/kota dilaksanakan oleh KPU Kabupaten/Kota.
Selain badan
penyelenggara pemilu diatas, terdapat juga penyelenggara pemilu yang bersifat
sementara (adhoc) yaitu Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan
Suara (PPS) untuk tingkat desa/kelurahan, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan
Suara (KPPS) untuk di TPS. Untuk penyelenggaraan di luar negeri, dibentuk
Panitia Pemu-ngutan Luar Negeri (PPLN) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan
Suara Luar Negeri (KPPSLN).
e.
Peserta Pemilu
i. Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2009 diikuti
oleh 44 partai, 38 partai merupakan partai nasional dan 6 partai merupakan
partai lokal Aceh. Partai-partai tersebut adalah :
ii. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 diikuti oleh
3 (tiga) pasangan calon, yaitu :
1)
Hj. Megawati
Soekarnoputri dan H. Prabowo Subianto (didukung oleh PDIP, Partai Gerindra,
PNI Marhaenisme, Partai Buruh, Pakar Pangan, Partai Merdeka, Partai Kedaulatan,
PSI, PPNUI)
2)
Dr. Susilo
Bambang Yudhoyono dan Prof. Dr. Boediono (didukung oleh Partai Demokrat, PKS,
PAN, PPP, PKB, PBB, PDS, PKPB, PBR, PPRN, PKPI, PDP, PPPI, Partai RepublikaN,
Partai Patriot, PNBKI, PMB, PPI, Partai Pelopor, PKDI, PIS, Partai PIB, Partai
PDI)
3)
Drs. H. Muhammad
Jusuf Kalla dan H. Wiranto, S.IP (didukung oleh Partai Golkar, dan Partai
Hanura)
Referensi:
kpu.go.org
2.
Arifin, Anwar. 2006. Pencitraan
dalam politik. Jakarta: Pustaka Indonesia
3.
Suprihatini, Amin. 2008. Partai
Politik di Indonesia. Klaten: Cempaka Putih
4.
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama