Dampak “ACFTA” pada Perekonomian Indonesia

ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta  serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya.
AFTA dibentuk pada waktu Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992. Awalnya AFTA ditargetkan ASEAN FreeTrade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia akan dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008), kemudian dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002.
Pada perkembangannya terakhir muncullah kesepakatan baru yaitu antara China dan negara anggota ASEAN dalam kerjasama perdangangan bebas dengan tarif 0 % sampai 5 %. Dengan kerjasama itu terbentuklah “AFTA ASEAN-China” di mana berlaku di Indonesia mulai 1 Januari 2010 yang lalu. Dengan adanya perjanjian tersebut, maka kegiatan perdagangan antara China dengan Indonesia berlangsung secara bebas atau tanpa adanya tarif. Hal ini dapat berdampak positif dan negative bagi kedua pihak.
Tujuan dari diadakannya perjanjian ini antara lain:
1.      Menjadikan kawasan ASEAN-China sebagai tempat produksi yang kompetitif sehingga produk ASEAN-China memiliki daya saing kuat di pasar global.
2.      Menarik lebih banyak Foreign Direct Investment (FDI).
3.      Meningkatkan perdagangan antar negara anggota ASEAN dan China (intra-ASEAN Trade and China).
4.      Mempererat hubungan diplomatis antara ASEAN dan China.

Adanya ACFTA memberikan kemudahan kepada Negara-negara ASEAN khususnya Indonesia dan China untuk memasarkan produk-produk mereka di pasar ASEAN dan China dibandingkan dengan Negara-negara non ASEAN dan China.
Akan tetapi bila Negara tersebut belum siap untuk mengikutinya, maka akan berdampak negative saja. Seperti halnya di Indonesia. Dengan ditekennya perjanjian ini, berbagai macam masalah malah banyak bermunculan. Apabila kita menilik kinerja sektor industri, pertanian, dan UMKM. Indonesia pada era perdagangan bebas ASEAN-China justru serba mengkhawatirkan bagi posisi dan kepentingan Indonesia.
Sektor industri misalnya, bukannya berkembang menuju industri dewasa dan kuat (mature industry), namun malah mengalami deindustrialisasi. Tak sedikit industri dalam negeri, seperti tekstil dan alas kaki, gulung tikar karena tak mampu bersaing. Walhasil, sumbangan industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mestinya terus meningkat sebagai ciri negara yang industrinya makin maju justru semakin menurun dan digantikan komoditas primer atau bahan mentah. Indonesia hanya bisa untuk mengekspor bahan mentah industry. Padahal apabila diolah di dalam negeri akan membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan harga jual menjadi barang jadi yang diekspor.
Sejalan dengan itu, banyak asosiasi industri Ihndonesia, seperti baja, plastik, tekstil, menyuarakan ketidaksanggupannya bersaing dalam era pasar bebas ASEAN-China dalam waktu dekat. Ini mengingat beban biaya produksi yang berat di Indonesia. Kenaikan harga BBM dan listrik sebagai salah satu komponen pokok produksi menjadi salah satu sebabnya. Di samping masih merajalelanya praktek KKN yang berakibat ekonomi biaya tinggi (high-cost economy), tingginya suku bunga kredit perbankan (cost of money), dan lemahnya keterkaitan industri hulu dan hilir.
Kondisi pada sektor pertanian lebih memprihatinkan. Sebelum pasar bebas ASEAN-China berlaku, produk buah-buahan China dan Thailand sudah sejak lama membanjiri pasar Indonesia. Bahkan tidak hanya dijajakan di supermarket terkemuka, melainkan sudah dijual di kaki lima atau diasongkan di atas kereta ekonomi.
Dengan kata lain, sebelum kawasan perdagangan bebas ASEAN-China dimulai, sektor pertanian Indonesia sudah dikalahkan di kandangnya sendiri. Maka bisa dibayangkan, bagaimana nasib produk pertanian kita tatkala tarif nol persen diberlakukan dalam era perdagangan bebas. Bisa dipastikan banjir produk pertanian asal China dan negara-negara ASEAN lainnya ke Indonesia akan semakin menjadi-jadi.
Di tengah kondisi psikologis konsumen Indonesia yang lebih mementingkan produk murah daripada produksi bangsa sendiri, situasi ini jelas sangat mengkhawatirkan. Terlebih kemampuan daya beli rata-rata rakyat Indonesia masih rendah, sehingga godaan harga produk pertanian yang murah akan sulit dihalau begitu saja.
Sektor UMKM tak jauh beda. Sebelum era pasar bebas ASEAN-China diberlakukan, produk mainan anak-anak dari China, misalnya, sudah menyerbu pasar Indonesia, mulai dari supermarket hingga kaki lima. Belum lagi tekstil bermotif batik “made in China” dengan harga yang sangat murah, yang dipastikan akan menggerus pangsa pasar kain batik produksi perajin batik rumahan dalam negeri.
Dari uraian diatas dapat dikatan perjanjian ACFTA malah merugikan pihak Indonesia. Disamping produk yang dijual sejenis yaitu mayoritas dari sector pertanian dan industry padat karya, kesiapan daru pengusaha kita masih kurang mampu untuk bersaing dengan China. Efisiensi produksi masih rendah dan biaya produksi yang mahal merupakan salah satu factor yang membuat para pengusaha kita tidak bisa bersaing dengan China.
Secara keseluruhan, perjanjian ini lebih baik ditinjau ulang atau direfisi kembali. Memang baik tujuan dari perjanjian ini asalkan diimbangi dengan kesiapan baik dari pemerintah, pengusaha, dan masyarakat secara umum.

Sumber :

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Dampak “ACFTA” pada Perekonomian Indonesia

ASEAN Free Trade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia serta  serta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya.
AFTA dibentuk pada waktu Konperensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992. Awalnya AFTA ditargetkan ASEAN FreeTrade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia akan dicapai dalam waktu 15 tahun (1993-2008), kemudian dipercepat menjadi tahun 2003, dan terakhir dipercepat lagi menjadi tahun 2002.
Pada perkembangannya terakhir muncullah kesepakatan baru yaitu antara China dan negara anggota ASEAN dalam kerjasama perdangangan bebas dengan tarif 0 % sampai 5 %. Dengan kerjasama itu terbentuklah “AFTA ASEAN-China” di mana berlaku di Indonesia mulai 1 Januari 2010 yang lalu. Dengan adanya perjanjian tersebut, maka kegiatan perdagangan antara China dengan Indonesia berlangsung secara bebas atau tanpa adanya tarif. Hal ini dapat berdampak positif dan negative bagi kedua pihak.
Tujuan dari diadakannya perjanjian ini antara lain:
1.      Menjadikan kawasan ASEAN-China sebagai tempat produksi yang kompetitif sehingga produk ASEAN-China memiliki daya saing kuat di pasar global.
2.      Menarik lebih banyak Foreign Direct Investment (FDI).
3.      Meningkatkan perdagangan antar negara anggota ASEAN dan China (intra-ASEAN Trade and China).
4.      Mempererat hubungan diplomatis antara ASEAN dan China.

Adanya ACFTA memberikan kemudahan kepada Negara-negara ASEAN khususnya Indonesia dan China untuk memasarkan produk-produk mereka di pasar ASEAN dan China dibandingkan dengan Negara-negara non ASEAN dan China.
Akan tetapi bila Negara tersebut belum siap untuk mengikutinya, maka akan berdampak negative saja. Seperti halnya di Indonesia. Dengan ditekennya perjanjian ini, berbagai macam masalah malah banyak bermunculan. Apabila kita menilik kinerja sektor industri, pertanian, dan UMKM. Indonesia pada era perdagangan bebas ASEAN-China justru serba mengkhawatirkan bagi posisi dan kepentingan Indonesia.
Sektor industri misalnya, bukannya berkembang menuju industri dewasa dan kuat (mature industry), namun malah mengalami deindustrialisasi. Tak sedikit industri dalam negeri, seperti tekstil dan alas kaki, gulung tikar karena tak mampu bersaing. Walhasil, sumbangan industri manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) yang mestinya terus meningkat sebagai ciri negara yang industrinya makin maju justru semakin menurun dan digantikan komoditas primer atau bahan mentah. Indonesia hanya bisa untuk mengekspor bahan mentah industry. Padahal apabila diolah di dalam negeri akan membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan harga jual menjadi barang jadi yang diekspor.
Sejalan dengan itu, banyak asosiasi industri Ihndonesia, seperti baja, plastik, tekstil, menyuarakan ketidaksanggupannya bersaing dalam era pasar bebas ASEAN-China dalam waktu dekat. Ini mengingat beban biaya produksi yang berat di Indonesia. Kenaikan harga BBM dan listrik sebagai salah satu komponen pokok produksi menjadi salah satu sebabnya. Di samping masih merajalelanya praktek KKN yang berakibat ekonomi biaya tinggi (high-cost economy), tingginya suku bunga kredit perbankan (cost of money), dan lemahnya keterkaitan industri hulu dan hilir.
Kondisi pada sektor pertanian lebih memprihatinkan. Sebelum pasar bebas ASEAN-China berlaku, produk buah-buahan China dan Thailand sudah sejak lama membanjiri pasar Indonesia. Bahkan tidak hanya dijajakan di supermarket terkemuka, melainkan sudah dijual di kaki lima atau diasongkan di atas kereta ekonomi.
Dengan kata lain, sebelum kawasan perdagangan bebas ASEAN-China dimulai, sektor pertanian Indonesia sudah dikalahkan di kandangnya sendiri. Maka bisa dibayangkan, bagaimana nasib produk pertanian kita tatkala tarif nol persen diberlakukan dalam era perdagangan bebas. Bisa dipastikan banjir produk pertanian asal China dan negara-negara ASEAN lainnya ke Indonesia akan semakin menjadi-jadi.
Di tengah kondisi psikologis konsumen Indonesia yang lebih mementingkan produk murah daripada produksi bangsa sendiri, situasi ini jelas sangat mengkhawatirkan. Terlebih kemampuan daya beli rata-rata rakyat Indonesia masih rendah, sehingga godaan harga produk pertanian yang murah akan sulit dihalau begitu saja.
Sektor UMKM tak jauh beda. Sebelum era pasar bebas ASEAN-China diberlakukan, produk mainan anak-anak dari China, misalnya, sudah menyerbu pasar Indonesia, mulai dari supermarket hingga kaki lima. Belum lagi tekstil bermotif batik “made in China” dengan harga yang sangat murah, yang dipastikan akan menggerus pangsa pasar kain batik produksi perajin batik rumahan dalam negeri.
Dari uraian diatas dapat dikatan perjanjian ACFTA malah merugikan pihak Indonesia. Disamping produk yang dijual sejenis yaitu mayoritas dari sector pertanian dan industry padat karya, kesiapan daru pengusaha kita masih kurang mampu untuk bersaing dengan China. Efisiensi produksi masih rendah dan biaya produksi yang mahal merupakan salah satu factor yang membuat para pengusaha kita tidak bisa bersaing dengan China.
Secara keseluruhan, perjanjian ini lebih baik ditinjau ulang atau direfisi kembali. Memang baik tujuan dari perjanjian ini asalkan diimbangi dengan kesiapan baik dari pemerintah, pengusaha, dan masyarakat secara umum.

Sumber :

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS