Jurnal Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance terhadap Kinerja Perbankan Di Indonesia

PENGARUH PENERAPAN GOOD CORPORATE GOVERNANE
TERHADAP KINERJA PERBANKAN DI INDONESA

Trisna Nugraha Pamungkas
Universitas Gunadarma


ABSTRAKSI

Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan Good Corporate Governance pada kinerja perbankan di Indonesia. Maksud dari penerapan GCG adalah untuk mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan pada asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, serta kewajaran dan kesetaraan. Jenis data yang digunakan adalah data primer yang didapat dari website bank Indonesia dan data sekunder yang diperoleh dari berbagai jurnal yang berhubungan dengan GCG dan kinerja perbankaan. Industry perbankan di Indonesia merupakan salah satu sektor perekonomian yang perkembangannya relative paling dinamis dibandingkan sektor yang lain, dengan sasaran mengerahkan dana masyarakat serta meningkatkan efisiensi dibidang perbankan dan lembaga keuangan. Good Corporate Governance adalah satu pilar dari system ekonomi pasar, itu berkaitan erat dengan kepercayaan baik terhadap perusahaan yang melaksanakannya maupun terhadap iklim usaha di suatu negara (DR. Boediono, 2006). Menurut Mas Ackmad Daniri, 2006, GCG diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan perundang-undangan.

Kata kunci: Good Corporate Governance, kinerja perbankan, transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, serta kewajaran dan kesetaraan.

ABSTRACT
The purpose of this paper is to determine the effect of the implementation of good corporate governance on bank performance in Indonesia. The purpose of the application of corporate governance is to encourage the achievement of sustainability through the management company based on the principles of transparency, accountability, responsibility, independence, and fairness. The type of data used is primary data obtained from the website of Bank Indonesia and secondary data obtained from various journals relating to corporate governance and banking performance. Indonesia's banking industry is one sector of the economy is relatively the most dynamic development than other sectors, with the goal of public funds and to improve the efficiency of the banking sector and financial institutions. Good corporate governance is a pillar of the market economic system, it is closely related to the confidence of both the companies that implement them and on the business climate in a country (Dr. Boediono, 2006). According to Mas Ackmad Daniri, 2006, GCG is necessary to encourage the creation of a market that is efficient, transparent and consistent with laws and regulations.

Keywords: good corporate governance, banking performance, transparency, accountability, responsibility, independence, and fairness.


PENDAHULUAN
Industry perbankan Indonesia sekarang ini merupakan suatu komposisi ekonomi yang berkembang relative paling dinamis dan besar disbanding dengan industry lain. Entitas perbankan berperan sebagai perantara keuangan (financial intermediary) antara pihak yang kelebihan dana dan pihak yang membutuhkan dana. Menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/17/PBI/2012, kegiatan usaha bank salah satunya adalah trust, yaitu kegiatan usaha bank berupa penitipan dengan pengelolaan. Oleh kaena itu, bank dituntut untuk mengelola dana ersebut secara professional dan terpercaya (agent of trust).

Bank sebagai lembaga keuangan yang sekaligus sebagai financial intermediary, bank bertanggung jawab untuk menyalurkan dana yang mereka peroleh kepada entitas yang membutuhkan guna meningkatkan perekonomian nasional dalam sektor riil (agent of development). Selain itu, bank diharapkan dapat membantu dalam desentralisasi dananya agar tercipta pemerataan pembangunan (agent of equality) guna terciptanya suatu perekonomian yang konkrit dan stabil (agent of stability).(UU Nomor 10 Tahun 1998).

Untuk terciptanya kondisi seperti disebutkan di atas, diperlukan sinergi yang baik antar pihak. Oleh karena itu diperlukan suatu regulasi yang salah satunya adalah Good Corporate Governance (GCG). GCG diperlukan untuk mendorong terciptanya pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan perundang-undangan. Dalam penerapannya diperlukan dukungan dari tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebgai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha (BAPEPAM:Pedoman GCG Indonesia 2006).

Menurut Bank Dunia, 2004 dalam jurnal Yusriyati Nur Farida, Yuli Prasetyo, dan Eliada Herwiyanti, corporate governance is a blend of law, regulation and appropriate voluntary private sector practices which enable a corporation to attract financial and human capital, perform effectively anf thereby perpetuate itself by generating long term economic value for its share holders and society as awhole. Dalam pedoman GCG Perbankan Indonesia yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance pada bulan januari 2004 disebutkan bahwa GCG mengandung lima prinsip utama, yaitu transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), responsibilitas (responsibility), independensi (independency), serta kewajaran dan kesetaraan (fairness), dan diciptakan untuk melindungi kepentingan semua pihak yang berkepentingan (shareholders).


METODE PENELITIAN

Objek Penelitian
Penelitian ini mencakup dua komponen utama, yaitu Good Corporate Governance dan Kinerja perbankan yang selanjutnya secara lebih luas meliputi earning management, system pengendalian intern, serta tingkat pengembalian dan risiko pembiayaan.

Data Penelitian
Jenis data yang digunakan adalah data primer yang diperoleh dari website Bank Indonesia dan data sekunder yang diambil dari berbagai jurnal yang berhubungan dengan penulisan ini.

Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan Good Corporate Governance  terhadap kinerja perbankan Indonesia.

Rumusan Masalah
Jurnal ini membahas mengenai pengaruh penerapan Good Corporate Governance terhadap kinerja perbankan Indonesia. Secara lebih luas melalui variable terkait perpengaruh terhadap earning management, system pengendalian intern, serta tingkat pengembalian dan risiko pembiayaan.


HASIL DAN PEMBAHASAN

Menurut Caprio, et al. (2003) dalam jurnal Totok Dewayanto, menyebutkan bahwa tata kelola perusahaan akan mampu mengurangi perampasan sumber daya bank dan mempromosikan efisiensi bank. Ini adalah salah satu fakta mengenai pentingnya tata kelola perusahaan perbankan. Dengan perkembangan zaman sekarang ini yang dituntut untuk cepat dan efisiensi khususnya dunia perbankan, tentunya tata kelola perusahaan merupakan suatu hal yang penting untuk diberlakukakn secara optimal.

Paper The Bassel Committee on Banking Supervision-Federal Reserve dalam jurnal Totok Dewayanto, telah menyoroti fakta bahwa strategi dan teknik yang didasarkan pada prinsip-prinsip OECD, yang merupakan dasar untuk melaksanakan tata kelola perusahaan meliputi:
1.      Nilai-nilai perusahaan, kode etik, dan perilaku lain yang sesuai standard an system yang digunakan untuk memastikan kepatuhan mereka.
2.      Pembentukan mekanisme untuk interaksi dan kerja sama diantara dewan direksi, manajemen senior, dan para auditor.
3.      System pengendalian internal yang kuat, termasuk fungsi-fungsi audit internal dan eksternal, manajemen risiko fungsi independn dari lini bisnis, dan check and balance lainnya.

Berdasarkan hasil penelitian dari jurnal yang berhubungan dengan Good Corporate Governance dan variable yang disebutkan sebelumnya, diperoleh hasil sebagai berikut:

Dalam jurnal Yusriyati Nur Farida, Yuli Prasetyo, dan Eliada Herwiyanti, penelitiannya menyevutkan bahwa penerapan Good Corporate Governance terhadap tindakan earnings management untuk meningkatkan kinerja perbankan tidak memiliki pengaruh signifikan kecuali pada proksi kepemilikan manajerial. Hasil penelitian membuktikan bahwa ukuran dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap earnings management untuk meningkatkan kinerja perbankan. Hasil ini sejalan dengan penelitian Ujiyantho dan Pramuka (2007) dalam jurnal Yusriyati Nur Farida, Yuli Prasetyo, dan Eliada Herwiyanti yang menjelaskan bahwa besar kecilnya dewan komisaris tidak menjadi satu-satunya faktor pengawasan terhadap manajemen.

Komposisi dewan komisaris independen dan komite audit tidak berpengaruh terhadap earnings management untuk meningkatkan kinerja perbankan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Veronica dan Utama (2005) dalam jurnal Yusriyati Nur Farida, Yuli Prasetyo, dan Eliada Herwiyanti, Proporsi komisaris independen yang tinggi keberadaan komite audit terbukti tidak dapat membatasi pengelolaan laba yang dilakukan oleh perbankan. Beberapa pendapat mengatakan bahwa pengangkatan komisaris independen dan komite audit hanya untuk memenuhi regulasi dari Good Corporate Governance (GCG).

Kepemilikan institusional tidak terbukti berpengaruh terhadap kineja perbankan, hasil ini sesuai dengan hasil penelitian Ujiyantho dan Pramuka (2007) dalam jurnal Yusriyati Nur Farida, Yuli Prasetyo, dan Eliada Herwiyanti yang mengatakan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh negative signifikan terhadap earnings management. Hal ini disebabkan karena sangat sedikit jumlah industry perbankan di Indonesia yang mempunyai kepemilikan institusional dalam struktur modal yang dimilikinya.

Kepemilikan manajerial terbukti berpengaruh terhadap earnings management untuk meningkatkan kinerja perbankan. Hasil ini sesuai dengan penelitian Ujiyantho dan Pramuka (2007)  dalam jurnal Yusriyati Nur Farida, Yuli Prasetyo, dan Eliada Herwiyanti yang mengatakan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh negative signifikan terhadap earnings management. Ketika manajemen memiliki struktur modal dalam perusahaan maka mereka akan cenderung menunjukkan kondisi keuangan yang sebernarnya, karena selain sebagai pihak manajemen, mereka juga memposisikan diri sebagai pihak stockholder perusahaan.

Pada variable ukuran dewan direksi menunjukkan bahwa tidak ada pengaruhnya terhadap kinerja perbankan. Berdasar pengujian, ukran dewan direksi terbukti menunjukka pengaruh yang positif namum tidak signifikan atas pengaruhnya terhadap kinerja perbankan (Totok Dewayanto, 2010).

CAR merupakan suatu persyaratan cadangan rasio kecukupan modal yang ditetapkan pemerintah sebagai bentuk pemantauan peraturan (reulator) terhadap kinerja perbankan, dari hasil penelitian, menunjukkan bahwa variable CAR berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perbankan (Totok Dewayanto, 2010).

Auditor eksternal (BIG 4) menunjukkan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja perbankan. Hal ini menunnjukkan bahwa harus adanya suatu pengawasan dan pengendali dari perbankan untuk meningkatkan kinerjanya.


PENUTUP


Untuk menciptakan iklim usaha yang stabil dalam dunia perbankan diperlukannya suatu pedoman yang berlaku secara menyeluruh bagi semua pihak. Oleh karena itu, diterapkanlah Good Corporate Governance. Akan tetapi dalam pelaksanaannya harus melibatkan semua pihak, mulai dari pemerintah sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha.

Dalam pedoman GCG Perbankan Indonesia yang dikeluarkan oleh Komite Nasional Kebijakan Corporate Governance pada bulan januari 2004 disebutkan bahwa GCG mengandung lima prinsip utama, yaitu transparansi (transparency), akuntabilitas (accountability), responsibilitas (responsibility), independensi (independency), serta kewajaran dan kesetaraan (fairness), dan diciptakan untuk melindungi kepentingan semua pihak yang berkepentingan (shareholders).

Berdasarkan jurnal yang telah saya review yang berhubungan dengan Good Corporate Governance, penerapan GCG ini berpengaruh terhadap kinerja perbankan yang ada di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa:
1. Penerapan Good Corporate Governance terhadap tindakan earnings management untuk meningkatkan kinerja perbankan tidak memiliki pengaruh signifikan kecuali pada proksi kepemilikan manajerial.
2.  Komposisi dewan komisaris independen dan komite audit tidak berpengaruh terhadap earnings management untuk meningkatkan kinerja perbankan.
3.      Kepemilikan institusional tidak terbukti berpengaruh terhadap kineja perbankan.
4.     Kepemilikan manajerial terbukti berpengaruh terhadap earnings management untuk meningkatkan kinerja perbankan.
5.  Variable ukuran dewan direksi menunjukkan bahwa tidak ada pengaruhnya terhadap kinerja perbankan.
6.      Variable CAR berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja perbankan.

7.  Auditor eksternal (BIG 4) menunjukkan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap kinerja perbankan.


DAFTAR PUSTAKA

Farida, Yusriyati Nur., Yuli Prasetyo dan Eliada Herwiyati. 2010.  Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance terhadap Timbulnya Earnings Management dalam Menilai Kinerja Keuangan pada Perusahaan Perbankan Di Indonesia. Jurnal Bisnis dan Akuntansi Vol. 12 No. 2, Agustus 2010 Halaman 69-80.

Dewatanto, Totok. 2010. Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance terhadap Kinerja Perbankan Nasional: Studi pada Perusahaan Perbankan yang Terdaftar di BEI perode 2006-2008. Focus Ekonomi Vol. 5 No. 2 Desember 2010:104-123.

Wirna, Darwanis dan Jalaludin. 2012. Pengaruh Sistem Pengendalian Intern terhadap Penerapan Good Corporate Governance (GCG) pada Perbankan di Kota Banda Aceh. Jurnal Akuntansi Pascasarjana Universitas Syiah Kuala.

Syam, Dhaniel dan Taufik Najda. 2012. Analisis Kualitas Penerapan Good Corporate Governance pada Bank Umum Syariah Di Indonesia Serta Pengaruhnya Terhadap Tingkat Pengembalian dan Risiko Pembiayaan. Jurnal Reviu Akuntansi dan Keuangan ISSN; 2008-0685 Vol. 2 No. 1, April 2012 Pp 195-206

Subhan, SE. MM. 2010. Pengaruh Good Corporate Governance dan Leverage Keuangan terhadap manajemen Laba Perusahaan Perbankan yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia (BEI). Universitas Madura






  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pemilu DI Indonesia


Didalam sebuah negara yang mengakui sebagai negara demokratis, tidak akan lengkap jika tidak ada pemilihan umum atau biasa disingkat dengan pemilu. Pemilu merupakan salah satu bentuk atau salah satu ciri negara demokratis. Jadi, tidak ada negara demokratis yang tidak menjalankan pemilihan umum.
Di kebanyakan negar demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolak ukur, dari demokrasi itu. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan berserikat, dianggap mencerminkan walaupun tidak begitu akurat, partisipasi dan kebebasan masyarakat. Sekalipun demikian, disadari bahwa pemilihan umum (PEMILU) tidak merupakan satu-satunya tolak ukur dan perlu dilengkapi dengan pengukuran beberapa kegiatan lain yang lebih bersifat berkesinambungan, seperti partisipasi dalam kegiatan partai, lobbying, dan sebagainya.
Pemilihan umum juga menunjukkan seberapa besar partisipasi politik masyarakat, terutama di negara berkembang. Kebanyakan negara ini ingin cepat mengadakan pembangunan untuk mengejar keterbelakangannya, karena dianggap bahwa berhasil-tidaknya pembangunan banyak bergantung pada partisipasi rakyat. Ikut sertanya masyarakat akan membantu penanganan masalah-masalah yang ditimbulkan oleh perbedaan-perbedaan etnis, budaya, status sosial, ekonomi, budaya, dan sebagainya. Integritas nasional, pembentukan identitas nasional, serta loyalitas terhadap negara diharapkan akan ditunjang pertumbuhannya melalui partisipasi politik.
Di beberapa negara berkembang partisipasi yang bersifat otonom, artinya lahir dari mereka sendiri itu masih terbatas.  Di beberapa negara yang rakyatnya apatis, pemerintah menghadapi masalah bagaimana meningkatkan partisipasi itu, sebab jika partisipasi mengalami jalan buntu, dapat terjadi dua hal yaitu “anomi” atau justru “ revolusi”. Maka melalui pemilihan umum yang sering didefinisikan sebagai  “pesta kedaulatan rakyat”, masyarakat dapat secara aktif menyuarakan aspirasi mereka baik itu ikut berpartisipasi dalam kegiatan partai, ataupun “menitipkan” dan “memercayakan” aspirasi mereka pada salah satu partai peserta PEMILU yang dianggap dapat memenuhi, serta menjalankan aspirasi masyarakat  yang telah dipercayakan pada partai tersebut.
Indonesia sebagai salah satu negara brkembang dan juga sebagai demokrasi yang sedang berusaha mencapai stabilitas nasional dan memantapkan kehidupan politik juga mengalami gejolak-gejolak sosial dan politik dalam proses pemilihan umum. Dalam perkembangan kehidupan politiknya, indonesia selalu berusaha memperbaharui sistem pemlihan umum baik itu dengan mengadopsi sistem yang ada di dunia barat (walaupun tidak semuanya bekerja efektif di dalam negeri kita) untuk mencapai stabilitas nasional dan politik maupun dengan pengalaman dari proses pemilihan umum yang sebelumnya.

Pengetian Pemilihan Umum
Pemilihan Umum adalah proses memilih orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presidenwakil rakyat di berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas, walaupun untuk ini kata 'pemilihan' lebih sering digunakan.
Selain itu, beberapa ahli berpendapat tentang pemilu sebagai berikut:
1.      Dieter Nohlen
Mendefinisikan sistem pemilihan umum dalam 2 pengertian, dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, sistem pemilihan umum adalah segala proses yang berhubungan dengan hak pilih, administrasi pemilihan dan perilaku pemilih. Lebih lanjut Nohlen menyebutkan pengertian sempit sistem pemilihan umum adalah cara dengan mana pemilih dapat mengekspresikan pilihan politiknya melalui pemberian suara, di mana suara tersebut ditransformasikan menjadi kursi di parlemen atau pejabat publik.
2.      Matias Iaryczower and Andrea Mattozzi dari California Institute of Technology.
Menurut mereka, yang dimaksud dengan sistem pemilihan umum adalah menerjemahkan suara yang diberikan saat Pemilu menjadi sejumlah kursi yang dimenangkan oleh setiap partai di dewan legislatif nasional. Dengan memastikan bagaimana pilihan pemilih terpetakan secara baik dalam tiap kebijakan yang dihasilkan, menjadikan sistem pemilihan umum sebagai lembaga penting dalam demokrasi perwakilan.
3.      Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim
Pemilihan umum tidak lain adalah suatu cara untuk memilih wakil-wakil rakyat. Dan karenanya bagi suatu negara yang menyebut dirinya sebagai negara demokrasi, pemilihan umum itu harus dilaksanakan dalam wakru-waktu tertentu.
4.      Bagir Manan
Pemilhan umum yang diadakan dalam siklus lima (5) tahun sekali merupakan saat atau momentum memperlihatkan secara nyata dan langsung pemerintahan oleh rakyat. Pada saat pemilihan umum itulah semua calon yang diingin duduk sebagai penyelenggara negara dan pemerintahan bergantung sepenuhnya pada keinginan atau kehendak rakyat.

Jadi dapat disimpulkan, pemilihan umum merupakan suatu proses pemilihan yang dilakukan masyarakat pada waktu tertentu dan tidak semua masyarakat dapat berpartisipasi didalam pemilihan umum tersebut, karena ada syarat yang harus dipenuhi sebagai pemilih dan yang dipilih.
Pada saat sekarang ini, pemilihan umum dilakukan untuk mengisi jabatan politik, mulai dari pemilihan presiden dan wakil presiden, pemilihan wakil rakyat diberbagai tingkatan, dan lain sebagainya. Namun pada dasarnya pemilihan umum tidak saja mencakup hal-hal tersebut, pemilihan ketua kelas juga termasuk pemilihan umum, hanya saja berbeda ruang lingkupnya. Disini akan lebih dipusatkan pada Pemilihan Umum secara garis besar, atau yang secara umum sering didiskusikan. Pemilu merupakan salah satu usaha untuk memengaruhi rakyat secara persuasif, salah satunya yaitu melalui kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan menjelang hari pemungutan suara. Pemenang Pemilu ditentukan oleh sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan ke para pemilih.    

Sistem Pemilihan Umum
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, namun pada umumnya ada dua system yang umum digunakan, yaitu Single-Member Constituency dan Multi-Member Constituency. Berikut penjelasannya:
1.      Single-Member Constituency (Sistem Distrik)
Sistem ini merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap distrik mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Untuk keperluan itu negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam dewan perwakilan rakyat ditentukan oleh jumlah distrik. Calon yang dalam satu distrik memperoleh suara yang terbanyak menang, sedangkan suara-suara yang ditujukan kepada calon-calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimana kecil pun selisih kekalahannya, hal ini dinamakan the first past the post (FPTP). Jadi tidak ada sistem menghitung suara lebih seperti yang dikenal dalam Sistem Proposional.
Sistem pemilihan ini dipakai di Inggris, Kanada, Amerika Serika dan India. Sistem Distrik ini mempunyai beberapa kelemahan, antara lain:
a.       Kurang memperhitungkan partai-partai kecil dan golongan minoritas.
b.      Kurang representatif, karena partai yang calonnya kalah dalam suatu distrik, maka sejumlah suara yang telah mendukungnya tidak diperhitungkan sama sekali. Hal ini akan dianggap tidak adil oleh golongan-golongan yang merasa dirugikan.
c.       Kurang efektif bila dipakai di negara yang masyarakatnya plural, karena akan memunculkan kelompok-kelompok yang mengatasnamakan etnis dan agama.
d.      Adanya kecenderungan wakil yang terpilih lebih memerhatikan kepentingan distrik dibanding kepentingan nasional.

Di samping kelemahan-kelemahan tersebut, ada keuntungan yang diperoleh negara-negara yang memakai sistem ini, keuntungannya antara lain:
a.       Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk distrik lebih erat.
b.      Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong partai-partai untuk me­nyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerja­sama.
c.       Berkurangnya partai dan meningkatnya kerjasama antara partai-­partai mempermudah terbentuknya pemerintah yang stabil dan mempertingkat stabilitas nasional.
d.      Sistem ini menunjang bertahannya sistem dwi-partai.
e.       Sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan.

2.      Multi-Member Constituency (Sistem Proporsional)
Adanya sistem ini bertujuan untuk mengurangi kelemahan dari sistem distrik. Jumlah kursi yang diperoleh oleh suatu partai sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya. Negara dianggap sebagai satu daerah pemilihan yang besar, akan tetapi untuk keperluan teknis-administratif dibagi dalam beberapa daerah pemilihan yang besar, di mana setiap daerah pemilihan memilih sejumlah wakil sesuai dengan banyaknya penduduk dalam daerah pemilihan itu. Dalam sistem ini setiap suara dihitung, hal ini diperlukan guna mem­peroleh kursi tambahan. Sistem Proporsional dipakai dibeberapa negara diantaranya yaitu Be­landa, Swedia, Belgia dan Indonesia.
Sama halnya dengan sistem distrik, pada sistem proporsional juga terdapat beberapa kelemahan, antara lain:
a.       Sistem ini memunculkan par­tai-partai baru.
b.      Wakil yang terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada partai dan kurang merasakan loyalitas kepada daerah yang telah memilih­nya. Hal ini disebabkan selain karena wilayahnya lebih besar, sehingga sulit untuk dikenal orang banyak, juga peran partai lebih besar dalam meraih kemenangan, yang akan membuat wakil yang terpilih lebih memerhatikan kepentingan partainya.
c.       Sistem Proporsional memberikan kedudukan yang kuat pada pimpinan partai melalui Sistem Daftar karena pimpinan partai menentukan daftar calon.
d.      Banyaknya partai mempersulit terbentuknya pemerintah yang stabil, karena umumnya harus mendasarkan diri atas koalisi dari dua partai atau lebih.

Sistem ini mempunyai ke­untungan, yaitu bahwa Sistem Proporsional bersifat representatif dalam arti bahwa setiap suara turut diperhitungkan dan praktis tidak ada suara yang hilang. Golongan-golongan bagaimana kecil pun, dapat menempatkan wakilnya dalam badan perwakilan rakyat. Masya­rakat yang heterogeen sifatnya, umumnya lebih tertarik pada sistem ini, karena dianggap lebih menguntungkan bagi masing-masing golongan. Disamping dua sistem tersebut, dikenal juga beberapa macam sistem lainnya, yaitu Block Vote, Alternative Vote, Two-Round System, Limited Vote, Single Non-Transferable Vote, Mixed Member Proporsional dan Single Transferable Vote. Berikut penjelasannya:
a.       Block Vote, merupakan penerapan pluralitas suara dalam distrik dengan lebih dari 1 wakil. Pemilih punya banyak suara sebanding dengan kursi yang harus dipenuhi di distriknya, juga mereka bebas memilih calon terlepas dari afiliasi partai politiknya. Mereka boleh menggunakan banyak pilihan atau sedikit pilihan, sesuai kemauan pemilih sendiri.

Sistem ini biasa digunakan di negara dengan partai politik yang lemah atau tidak ada. Kelebihan sistem ini memberikan keleluasaan bagi pemilih untuk menentukan pilihannya. Kekurangannya yaitu sistem ini bisa menunjukkan hasil yang sulit diprediksi.
b.      Alternate Vote, sama dengan First Past The Post, sebab dari setiap distrik dipilih satu orang wakil saja. Bedanya yaitu dalam penghitungan suara. Sistem ini digunakan di Fiji dan Papua Nugini.

Kelebihannya adalah memungkinkan pilihan atas sejumlah calon berakumulasi. Kelemahannya adalah, ia menghendaki tingkat baca-tulis huruf dan angka yang tinggi di kalangan pemilih, di samping kemampuan pemilih untuk menganalisis para calon.
c.       Two Round System adalah sistem pluralitas di mana proses pemilu tahap 2 akan diadakan jika pemilu tahap 1 tidak ada yang memperoleh suara mayoritas yang ditentukan sebelumnya. Negara-negara yang menggunakan Two Round System adalah Perancis, Republik Afrika Tengah, Kongo, Gabon, Mali, Mauritania, Togo, Mesir, Haiti, Iran, Kiribati, Vietnam, Belarusia, Kyrgyztan, Turkmenistan, dan Uzbekistan.

Kelebihan Two Round System adalah memungkinkan pemilih punya kesempatan kedua bagi calon yang dijagokannya sekaligus mengubah pikirannya dan memungkinkan kepentingan yang beragam berkumpul di kandidat yang masuk ke putaran kedua pemilu. Kekurangannya adalah membuat penyelenggara Pemilu bekerja ekstra keras jika ada putaran kedua, membuat dana pemilu membengkak, juga dicurigai membuat fragmentasi antar partai-partai politik.
d.      Limited Vote adalah sistem Pluralitas yang digunakan untuk distrik-distrik dengan lebih dari satu wakil. Pemilih punya lebih dari satu suara. Kandidat dengan total suara tertinggi memenangkan kursi. Kelebihan sistem ini yaitu mudah bagi para pemilih dan relatif mudah dihitung. Kelemahannya, ia cenderung menghasilkan hasil yang kurang proporsional. Selain itu, juga berakibat pada kompetisi internal partai.
e.       Single Non Transferable Vote, setiap pemilih memiliki satu suara bagi tiap calon, lebih dari satu kursi yang harus diisi di tiap distrik pemilihan. Calon-calon dengan total suara tertinggi mengisi posisi. Kelebihan SNTV adalah kemampuannya memfasilitasi perwakilan partai minoritas dan calon independen. Semakin besar jumlah kursi, semakin sistem ini menjadi proporsional. Sistem ini menjadikan partai terorganisir dan menyuruh pemilih memberikan suaranya kepada partai lain yang lebih berpotensi memenangkan suara dan ujungnya, menciptakan satu partai dominan. Selain itu, SNTV dinyatakan sebagai mudah digunakan. Kelemahan SNTV adalah, partai kecil yang suaranya tersebar mungkin saja tidak akan memenangkan kursi dan partai perlu mempertimbangkan strategi yang rumit seputar manajemen nominasi calon dan pemberian suara.
f.       Mixed Member Proportional. Di bawah sistem MMP, kursi sistem Proporsional dianugrahkan bagi setiap hasil yang dianggap tidak proporsional. MMP digunakan di Albania, Bolivia, Jerman, Hungaria, Italia, Lesotho, Meksiko, Selandia Baru, dan Venezuela. Di negara-negara ini, kursi distrik dipilih menggunakan FPTP. Hungaria menggunakan TRS dan metode Italia lebih rumit lagi, seperempat kursi di majelis rendah dicadangkan untuk mengkompensasikan suara terbuang di distrik-distrik dengan satu wakil. Meskipun MMP didesain untuk hasil yang lebih proporsional, adalah mungkin terjadi ketidakproporsionalan begitu besar di distrik dengan satu wakil, sehingga kursi yang terdaftar tidak cukup untuk mengkompensasikannya.
g.      Single Transferable Vote. Single Transferable Vote (STV) banyak dinyatakan sebagai sistem pemilu yang menarik. STV menggunakan satu distrik lebih dari satu wakil, dan pemilih merangking calon menurut pilihannya di kertas suara seperti pada Alternate Vote. Dalam memilih, pemilih dibebaskan untuk merangking ataupun cukup memilih satu saja. Sistem ini dipakai di Malta dan Republik Irlandia. Setelah total suara yang memperoleh rangking pertama dihitung, perhitungan dilanjutkan dengan membuat kuota yang dibutuhkan bagi seorang calon. Kelebihan Single Transferable Vote sama dengan Proporsional secara umum, sebab memungkinkan pilihan dibuat baik antarpartai maupun antarcalon dalam satu partai. Kelemahan dari STV adalah rumitnya proses perhitungan serta membutuhkan tingkat kenal huruf dan angka yang tinggi dari para pemilih. Sistem ini juga memancing fragmentasi di dalam internal partai poitik oleh sebab calon-calon dari partai yang sama saling bersaing satu sama lain.

Pemilihan Umum Di Indonesia
Pada pembahasan kali ini menjelaskan secara singkat tentang sejarah pemilu di Indonesia, mulai dari tahun 1955 sampai dengan 2009 yang mencakup gambaran mengenai sistem pemilu, asas pemilu, dasar hukum penyelenggaraan pemilu. badan penyelenggara pemilu dan peserta pemilu.
A.    Pemilu 1955 (Masa Parlementer).
1.      Sistem Pemilu
Pemilu 1955 adalah pemilu pertama yang diselenggarakan dalam sejarah kemerde­kaan bangsa Indonesia yang baru berusia 10 (sepuluh) tahun. Pemilu 1955 dilaksanakan pada masa Demokrasi Parlementer pada kabinet Burhanuddin Harahap. Pemungutan su­ara dilakukan 2 (dua) kali, yaitu untuk memilih anggota DPR pada 29 September 1955 dan untuk memilih anggota Dewan Konstituante pada 15 Desember 1955.
2.      Asas Pemilu
Pemilu 1955 dilaksanakan dengan asas :
a.       Jujur, artinya bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan per-undangan yang berlaku.
b.      Umum, artinya semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan minimal dalam usia, mempunyai hak memilih dan dipilih.
c.       Berkesamaan, artinya bahwa semua warga negara yang telah mempunyai hak pilih mempunyai hak suara yang sama, yaitu masing-masing satu suara.
d.      Rahasia, artinya bahwa pemilih dalam memberikan suara dijamin tidak akan diketahui oleh siapapun dan dengan cara apapun mengenai siapa yang dipilihnya.
e.       Bebas, artinya bahwa setiap pemilih bebas menentukan pilihannya menurut hati nura-ninya, tanpa ada pengaruh, tekanan, paksaan dari siapapun dan dengan cara apapun.
f.       Langsung, artinya bahwa pemilih langsung memberikan suaranya menurut hati nura-ninya, tanpa perantara, dan tanpa tingkatan.
3.      Dasar Hukum Penyelenggaraan
a.       Undang-undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota DPR sebagaimana diubah dengan UU Nomor 18 Tahun 1953.
b.      Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1954 tentang Menyelenggarakan Undang-Un­dang Pemilu.
c.       Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1954 tentang Cara Pencalonan Keanggotaan DPR/Konstituante oleh Anggota Angkatan Perang dan Pernyataan Non Aktif/Pem­berhentian berdasarkan penerimaan keanggotaan pencalonan keanggotaan tersebut, maupun larangan mengadakan Kampanye Pemilu terhadap Anggota Angkatan Perang.
4.      Badan Penyelenggara Pemilu
Untuk menyelenggarakan Pemilu dibentuk badan penyelenggara pemilihan, dengan berpedoman pada Surat Edaran Menteri Kehakiman Nomor JB.2/9/4 Und.Tanggal 23 April 1953 dan 5/11/37/KDN tanggal 30 Juli 1953, yaitu:
a.       Panitia Pemilihan Indonesia (PPI): mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan anggota Konstituante dan anggota DPR. Keanggotaan PPI sekurang-kurangnya 5 (lima) orang dan sebanyak-banyaknya 9 (sembilan) orang, dengan masa kerja 4 (empat) ta­hun.
b.      Panitia Pemilihan (PP) : dibentuk di setiap daerah pemilihan untuk membantu persia­pan dan menyelenggarakan pemilihan anggota konstituante dan anggota DPR. Susunan keanggotaan sekurang-kurangnya 5 (lima) orang anggota dan sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang anggota, dengan masa kerja 4 (empat) tahun.
c.       Panitia Pemilihan Kabupaten (PPK) dibentuk pada tiap kabupaten oleh Menteri Dalam Negeri yang bertugas membantu panitia pemilihan mempersiapkan dan menyeleng­garakan pemilihan anggota Konstituante dan anggota DPR.
d.      Panitia Pemungutan Suara (PPS) dibentuk di setiap kecamatan oleh Menteri Dalam Negeri dengan tugas mensahkan daftar pemilih, membantu persiapan pemilihan ang­gota Konstituante dan anggota DPR serta menyelenggarakan pemungutan suara. Keanggotaan PPS sekurang-kurangnya 5 (lima) orang anggota dan Camat karena jaba­tannya menjadi ketua PPS merangkap anggota. Wakil ketua dan anggota diangkat dan diberhentikan oleh PPK atas nama Menteri Dalam Negeri.
5.      Peserta Pemilu 1955
Pemilu anggota DPR diikuti 118 peserta yang terdiri dari 36 partai politik, 34 organisasi kemasyarakatan, dan 48 perorangan, sedangkan untuk Pemilu anggota Konstituante di ikuti 91 peserta yang terdiri dari 39 partai politik, 23 organisasi kemasyarakatan, dan 29 perorangan. Partai politik tersebut antara lain :
a.       Partai Komunis Indonesia (PKI), berdiri 7 Nopember 1945, diketuai oleh Moh.Yusuf Sarjono
b.      Partai Islam Masjumi, berdiri 7 Nopember 1945, diketuai oleh dr. Sukirman Wirjosardjono
c.       Partai Buruh Indonesia, berdiri 8 Nopember 1945, diketuai oleh Nyono
d.      Partai Rakyat Djelata, berdiri 8 Nopember 1945, diketuai oleh Sutan Dewanis
e.       Partai Kristen Indonesia (Parkindo), berdiri 10 Nopember 1945 diketuai oleh DS. Probowinoto
f.       Partai Sosialis Indonesia, berdiri 10 Nopember 1945 diketuai oleh Mr. Amir Syarifudin
g.      Partai Rakyat Sosialis, berdiri 20 Nopember 1945 diketuai oleh Sutan Syahrir
h.      Partai Katholik Republik Indonesia (PKRI), berdiri 8 Desember 1945, diketuai oleh J. Kasimo
i.        Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai) diketuai oleh JB. Assa
j.        Gabungan Partai Sosialis Indonesia dan Partai Rakyat Sosialis, menjadi Partai Sosialis pada 17 Desember 1945, diketuai oleh Sutan Syahrir, Amir Syarifudin dan Oei Hwee Goat
k.      Partai Republik Indonesia, Gerakan Republik Indonesia dan Serikat Rakyat Indonesia menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI) 29 Januari 1946, diketuai oleh Sidik Joyosuharto.

B.     Pemilu 1971-1997 (Masa Orde Baru)
1.      Pemilu 1971
a.       Sistem Pemilu
Pemilu 1971 merupakan pemilu kedua yang diselenggarakan bangsa Indonesia. Pemilu 1971 dilaksanakan pada pemerintahan Orde Baru, tepatnya 5 tahun setelah pemerintahan ini berkuasa. Pemilu yang dilaksanakan pada 5 Juli 1971 ini diselenggarakan untuk memilih Anggota DPR.
Sistem Pemilu 1971 menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan sistem stelsel daftar, artinya besarnya kekuatan perwakilan organisasi dalam DPR dan DPRD, berimbang dengan besarnya dukungan pemilih karena pemilih memberikan suaranya kepada Organisasi Peserta Pemilu.
b.      Asas Pemilu
Pemilu 1971 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia (LUBER).
                                            i.     Langsung, artinya bahwa pemilih langsung memberikan suaranya menurut hati nuraninya, tanpa perantara, dan tanpa tingkatan.
                                          ii.     Umum, artinya semua warga negara yang telah memenuhi persyaratan minimal dalam usia, mempunyai hak memilih dan dipilih.
                                        iii.     Bebas, artinya bahwa setiap pemilih bebas menentukan pilihannya menurut hati nura-ninya, tanpa ada pengaruh, tekanan, paksaan dari siapapun dan dengan cara apapun.
                                        iv.     Rahasia, artinya bahwa pemilih dalam memberikan suara dijamin tidak akan diketahui oleh siapapun dan dengan cara apapun mengenai siapa yang dipilihnya.
c.       Dasar Hukum
                                            i.     TAP MPRS No. XI/MPRS/1966
                                          ii.     TAP MPRS No. XLII/MPRS/1966
                                        iii.     UU Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Per­musyawaratan / Perwakilan Rakyat
                                        iv.     UU Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD.
d.      Badan Penyelenggara Pemilu
Lembaga Pemilihan Umum (LPU) dibentuk dengan Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 1970. LPU diketuai oleh Menteri Dalam Negeri yang keanggotaannya terdiri atas Dewan Pimpinan, Dewan Pertimbangan, Sekretariat Umum LPU dan Badan Perbekalan dan Perhubungan .
Struktur organisasi penyelenggara di pusat, disebut Panitia Pemilihan Indonesia (PPI), di provinsi disebut Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I (PPD I), di kabupaten/kotamadya disebut Panitia Pemilihan Daerah Tingkat II, di kecamatan disebut Panitia Pemungutan Suara (PPS) dan di desa/kelurahan disebut Panitia Pendaftaran Pemilih (Pantarlih). Untuk melaksanakan pemungutan dan penghitungan suara dibentuk Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Bagi warga negara RI di luar negeri dibentuk Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), Panitia Pemungutan Suara Luar Negeri (PPSLN), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN) yang bersifat sementara (ad­hoc).
e.       Peserta Pemilu 1971 :
                                            i.     Partai Nahdlatul Ulama
                                          ii.     Partai Muslim Indonesia
                                        iii.     Partai Serikat Islam Indonesia
                                        iv.     Persatuan Tarbiyah Islamiiah
                                          v.     Partai Nasionalis Indonesia
                                        vi.     Partai Kristen Indonesia
                                      vii.     Partai Katholik
                                    viii.     Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia
                                        ix.     Partai Murba
                                          x.     Sekber Golongan Karya

2.      Pemilu 1977
a.       Sistem Pemilu
Pemilu kedua pada pemerintahan orde baru ini diselenggarakan pada tanggal 2 Mei 1977. Sama halnya dengan Pemilu 1971, pada Pemilu 1977 juga menggunakan sistem per­wakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.
b.      Asas Pemilu
Pemilu 1977 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.
c.       Dasar Hukum
                                            i.     Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1973 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Bi­dang Politik, Aparatur Pemerintah, Hukum dan Hubungan Luar Negeri.
                                          ii.     Ketetapan MPR Nomor VIII/MPR/1973 tentang Pemilihan Umum.
                                        iii.     Undang-undang Nomor 3/1975 Tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
                                        iv.     Undang-undang Nomor 5/1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di daerah.
                                          v.     Undang-undang Nomor 8/1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
                                        vi.     Undang-undang Nomor 5/1979 tentang Pemerintahan Desa.
d.      Badan Penyelenggara Pemilu
Pemilu 1977 diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Pemilu yang memiliki struk­tur yang sama dengan penyelenggaraan pada tahun 1971, yaitu PPI ditingkat pusat, PPD I di provinsi, PPD II di kabupaten/kotamadya, PPS di kecamatan, Pantarlih di desa/kelu­rahan, dan KPPS. Bagi warga negara Indonesia di luar negeri dibentuk PPLN, PPSLN, dan KPPSLN yang bersifat sementara (adhoc).
e.        Peserta Pemilu
Pada Pemilu 1977, ada fusi atau peleburan partai politik peserta Pemilu 1971 se-hingga Pemilu 1977 diikuti 3 (tiga) peserta Pemilu, yaitu:
                                            i.     Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang merupakan fusi/penggabungan dari: NU, Parmusi, Perti, dan PSII.
                                          ii.     Golongan Karya (GOLKAR).
                                        iii.     Partai Demokrasi Indonesia (PDI) merupakan fusi/penggabungan dari: PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai IPKI, dan Partai Murba.

3.      Pemilu 1982
a.       Sistem Pemilu
Pemilu 1982 merupakan pemilu ketiga yang diselenggarakan pada pemerintahan Orde Baru. Pemilu ini diselenggarakan pada tanggal 4 Mei 1982. Sistem Pemilu 1982 tidak berbeda dengan sistem yang digunakan dalam Pemilu 1971 dan Pemilu 1977, yaitu masih menggunakan sistem perwakilan berimbang (proporsional).
b.      Asas Pemilu
Pemilu 1982 dilaksanakan dengan asas Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia.
c.       Dasar Hukum
                                            i.     Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1978 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/1978 Tentang Pemilu.
                                          ii.     Undang-undang Nomor 2 Tahun 1980 tentang Pemilihan Umum.
                                        iii.     Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1980 sebagai pengganti Peraturan Pemerin­tah Nomor 1 Tahun 1976.
d.      Badan Penyelenggara Pemilu
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu1982 sama dengan struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1977, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih, dan KPPS serta PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.
e.       Peserta Pemilu 1982
                                            i.     Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
                                          ii.     Golongan Karya (Golkar).
                                        iii.     Partai Demokrasi Indonesia (PDI).

4.      Pemilu 1987
a.       Sistem Pemilu
Pemilu keempat pada pemerintahan Orde Baru dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987. Sistem Pemilu yang digunakan pada tahun 1987 masih sama dengan sistem yang di­gunakan dalam Pemilu 1982, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.
b.      Asas Pemilu
Pemilu 1987 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.
c.       Dasar Hukum
                                            i.     Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN dan Ketetapan MPR Nomor III/ MPR/1983 tentang Pemilihan Umum.
                                          ii.     UU Nomor 1 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 1969 se­bagaimana telah diubah dengan UU Nomor 4 Tahun 1975 dan UU Nomor 2 Tahun 1980.
                                        iii.     Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1980 sebagai pengganti Peraturan Pemerin­tah Nomor 1 Tahun 1976.
d.      Badan Penyelenggara Pemilu.
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1987 sama dengan struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1982, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih dan KPPS, serta PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.
e.       Peserta Pemilu 1987
                                            i.     Partai Persatuan Pembangunan.
                                          ii.     Golongan Karya
                                        iii.     Partai Demokrasi Indonesia.

5.      Pemilu 1992
a.       Sistem Pemilu
Pemilu kelima pada pemerintahan Orde Baru dilaksanakan pada tanggal 9 Juni 1992. Sistem Pemilu yang digunakan pada tahun 1992 masih sama dengan sistim yang digunakan dalam Pemilu 1987, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.
b.      Asas Pemilu
Pemilu 1987 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.
c.       Dasar Hukum.
                                            i.     Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1988 tentang GBHN dan Ketetapan MPR Nomor III/ MPR/1988 tentang Pemilu.
                                          ii.     UU Nomor 1 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 1969 se­bagaimana telah diubah dengan UU Nomor 4 Tahun 1975 dan UU Nomor 2 Tahun 1980.
                                        iii.     Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1985.
                                        iv.     Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 1985
                                          v.     Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1990
d.      Badan Penyelenggara Pemilu.
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1992 sama dengan struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1987, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih dan KPPS, serta PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.
e.       Peserta Pemilu 1992.
                                            i.     Partai Persatuan Pembangunan.
                                          ii.     Golongan Karya.
                                        iii.     Partai Demokrasi Indonesia.

6.      Pemilu 1997
a.       Sistem Pemilu.
Pemilu keenam pada pemerintahan Orde Baru ini dilaksanakan pada tanggal 29 Mei 1997. Sistem Pemilu yang digunakan pada tahun 1997 masih sama dengan sistem yang di­gunakan dalam Pemilu 1992, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.
b.      Asas Pemilu.
Pemilu 1997 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.
c.       Dasar Hukum.
                                            i.     Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993 tentang GBHN dan Ketetapan MPR Nomor III/ MPR/1993 tentang Pemilu.
                                          ii.     Undang-undang Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pemilihan Umum.
                                        iii.     Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1985 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1969 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaima­na telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1975 dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985
d.      Badan Penyelenggara Pemilu.
Struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1997 sama dengan struktur organisasi penyelenggara Pemilu 1992, yaitu terdiri dari PPI, PPD I, PPD II, PPS, Pantarlih dan KPPS, serta PPLN, PPSLN, dan KPPSLN.
e.       Peserta Pemilu 1997.
                                            i.     Partai Persatuan Pembangunan.
                                          ii.     Golongan Karya.
                                        iii.     Partai Demokrasi Indonesia.

C.    Pemilu 1999-2009 (Masa Reformasi)
1.      Pemilu 1999
a.       Sistem Pemilu.
Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama pada masa reformasi. Pemungutan suara dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999 secara serentak di seluruh wilayah Indonesia. Sistem Pemilu 1999 sama dengan Pemilu 1997 yaitu sistem perwakilan berimbang (propor-sional) dengan stelsel daftar.
b.      Asas Pemilu.
Pemilu 1999 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
c.       Dasar Hukum.
                                            i.     Undang-undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.
                                          ii.     Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
                                        iii.     Undang-undang Nomor 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD.
d.      Badan Penyelenggara Pemilu.
Pemilu tahun 1999 dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dibentuk oleh Presiden. KPU beranggotakan 48 orang dari unsur partai politik dan 5 orang wakil pemer­intah. Dalam menyelenggarakan Pemilu, KPU juga dibantu oleh Sekretariat Umum KPU. Penyelenggara pemilu tingkat pusat dilaksanakan oleh Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) yang jumlah dan unsur anggotanya sama dengan KPU. Untuk penyelenggaraan di tingkat daerah dilaksanakan oleh PPD I, PPD II, PPK, PPS, dan KPPS. Untuk penyelenggaraan di luar negeri dilaksanakan oleh PPLN, PPSLN, dan KPPSLN yang keanggotaannya terdiri atas wakil-wakil parpol peserta Pemilu ditambah beberapa orang wakil dari pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat.
e.       Peserta Pemilu 1999.

2.       Pemilu 2004
Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama yang memungkinkan rakyat memilih lang­sung wakil mereka untuk duduk di DPR, DPD, dan DPRD serta memilih langsung presi­den dan wakil presiden. Pemilu 2004 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 5 April 2004 untuk memilih 550 Anggota DPR, 128 Anggota DPD, serta Anggota DPRD (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2004-2009. Sedangkan untuk memilih presiden dan wakil presiden untuk masa bakti 2004-2009 diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004 (putaran I) dan 20 September 2004 (putaran II).
a.       Sistem Pemilu.
Pemilu 2004 dilaksanakan dengan sistem yang berbeda dari pemilu-pemilu sebe­lumnya. Pemilu untuk memilih Anggota DPR dan DPRD (termasuk didalamnya DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota) dilaksanakan dengan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan sistem daftar calon terbuka. Partai politik akan mendapatkan kursi sejumlah suara sah yang diperolehnya. Perolehan kursi ini akan diberikan kepada calon yang memenuhi atau melebihi nilai BPP. Apabila tidak ada, maka kursi akan diberikan ke­pada calon berdasarkan nomor urut. Pemilu untuk memilih Anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak.
b.      Asas Pemilu.
Pemilu 2004 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
c.       Dasar Hukum.
                                            i.     Undang-undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
                                          ii.     Undang-undang No. 12 Thn 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.
                                        iii.     Undang Undang Nomor 23 tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden.
d.      Badan Penyelenggara Pemilu
Penyelenggaraan Pemilu 2004 dilakukan oleh KPU. Penyelenggaraan ditingkat provinsi dilakukan KPU Provinsi, sedangkan ditingkat kabupaten/kota oleh KPU Kabu­paten/Kota. Selain badan penyelenggara pemilu diatas, terdapat juga penyelenggara pemilu yang bersifat sementara (adhoc) yaitu Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemu-ngutan Suara (PPS) untuk tingkat desa/kelurahan, dan Kelompok Penyelenggara Pemu-ngutan Suara (KPPS) untuk di TPS. Untuk penyelenggaraan di luar negeri, dibentuk Panitia Pemungutan Luar Negeri (PPLN) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN).
e.       Peserta Pemilu 2004.
                                            i.     Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD tahun 2004 diikuti oleh 24 partai, yaitu:


Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004
Peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 putaran I (pertama) seban­yak 5 (lima) pasangan, adalah sebagai berikut:
Karena kelima pasangan calon presiden dan wakil presiden peserta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden putaran I (pertama) belum ada yang memperoleh suara lebih dari 50%, maka dilakukan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden putaran II (kedua), dengan pe­serta dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang memperoleh suara terbanyak pertama dan terbanyak kedua, yaitu :


3.      Pemilu 2009.
Pemilu 2009 merupakan pemilu ketiga pada masa reformasi yang diselenggarakan secara serentak pada tanggal 9 April 2009 untuk memilih 560 Anggota DPR, 132 Anggota DPD, serta Anggota DPRD (DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indo­nesia periode 2009-2014. Sedangkan untuk memilih presiden dan wakil presiden untuk masa bakti 2009-2014 diselenggarakan pada tanggal 8 Juli 2009 (satu putaran).
a.       Sistem Pemilu.
Pemilu 2009 untuk memilih Anggota DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan sistem daftar calon terbuka. Kursi yang dimenangkan setiap partai politik mencerminkan proporsi total suara yang didapat setiap parpol. Mekanisme sistem ini memberikan peran besar ke­pada pemilih untuk menentukan sendiri wakilnya yang akan duduk di lembaga perwakilan. Calon terpilih adalah mereka yang memperoleh suara terbanyak. Untuk memilih Anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil banyak. Distrik disini adalah provinsi, dimana setiap provinsi memiliki 4 (empat) perwakilan.
b.      Asas Pemilu.
Pemilu 2009 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
c.       Dasar Hukum.
                                       i.     Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum;
                                     ii.     Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik;
                                   iii.     Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD;
                                   iv.     Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
d.      Badan Penyelenggara Pemilu
UUD 1945 menyebutkan bahwa Pemilihan Umum dilaksanakan oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Penyelenggara pemilu diting­kat nasional dilaksanakan oleh KPU, ditingkat provinsi dilaksanakan oleh KPU Provinsi, ditingkat kabupaten/kota dilaksanakan oleh KPU Kabupaten/Kota.
Selain badan penyelenggara pemilu diatas, terdapat juga penyelenggara pemilu yang bersifat sementara (adhoc) yaitu Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS) untuk tingkat desa/kelurahan, dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Su­ara (KPPS) untuk di TPS. Untuk penyelenggaraan di luar negeri, dibentuk Panitia Pemu-ngutan Luar Negeri (PPLN) dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPSLN).
e.       Peserta Pemilu
                                       i.     Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD Tahun 2009 diikuti oleh 44 partai, 38 partai merupakan partai nasional dan 6 partai merupakan partai lokal Aceh. Partai-partai tersebut adalah :
                                     ii.     Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2009 diikuti oleh 3 (tiga) pasangan calon, yaitu :
1)      Hj. Megawati Soekarnoputri dan H. Prabowo Subianto (didukung oleh PDIP, Par­tai Gerindra, PNI Marhaenisme, Partai Buruh, Pakar Pangan, Partai Merdeka, Partai Kedaulatan, PSI, PPNUI)
2)      Dr. Susilo Bambang Yudhoyono dan Prof. Dr. Boediono (didukung oleh Partai Demokrat, PKS, PAN, PPP, PKB, PBB, PDS, PKPB, PBR, PPRN, PKPI, PDP, PPPI, Partai RepublikaN, Partai Patriot, PNBKI, PMB, PPI, Partai Pelopor, PKDI, PIS, Partai PIB, Partai PDI)
3)      Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla dan H. Wiranto, S.IP (didukung oleh Partai Golkar, dan Partai Hanura)



Referensi:
 kpu.go.org
2.      Arifin, Anwar. 2006. Pencitraan dalam politik. Jakarta: Pustaka Indonesia
3.      Suprihatini, Amin. 2008. Partai Politik di Indonesia. Klaten: Cempaka Putih
4.      Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS